Dan Pohon pun
Menangis
Terdapat kisah yang masyhur, sebatang pohon yang biasanya dijadikan tempat
duduk oleh Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam waktu memberi khutbah,
menangis dengan suara yang memilukan saat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi
wassalam berencana memindahkan tempat duduk Beliau ke sebuah mimbar yang
telah disiapkan oleh para Shahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Dari kisah ini mungkin kita akan
berpikir, bagaimana bisa sebatang kayu mengetahui apa yang terjadi di
sekelilingnya lalu mampu memberi tanggapan?
Di balik lambaian dedaunan dan gemerisik ranting-ranting, ternyata
menyimpanan segudang rahasia akan kehebatan sebuah penciptaan. Dengan ini semua
semoga mengingatkan kita betapa tumbuhan pun ternyata mampu merasakan dan turut
mananggung akibat amal-amal manusia.
Lebih dari itu, kita pun dapat menemukan hikmah betapa Alloh Subhanahu wa ta’ala demikian
sempurna dalam penciptaan-Nya terhadap semua makhluk-Nya. Karena perpaduan
bagian demi bagian dalam kehidupan, pada akhirnya merangkai detak kehidupan
bagi setiap makhluk yang diciptakan oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala. Rintik air hujan, kemilau sinar
matahari, dedaunan yang ranum menghijau adalah secuil Maha Karya Alloh Subhanahu wa ta’ala yang setiap detail penciptaannya
menyimpan pelajaran akan keagungan Sang Penciptanya. Namun semua ini akan
tertampak apabila kita sudi memikirnya. untuk itulah kirannya Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman :
Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu,
sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan,
yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi
kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam
buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda
(kekuasaan Alloh) bagi kaum yang memikirkan. (Q.S. An-Nahl: 10-11)
.
Hutang Kita kepada Dedaunan
Layaknya manusia yang selalu bernapas sebagai tanda kehidupannya, bumi
kita pun sebenarnya “bernapas” juga demi mendukung kelangungan hidup aneka makhluk
yang ada di atasnya. Setiap jenis tumbuhan, mulai alga yang melayang memenuhi
lautan, jamur, dan cendawan yang merayap di dinginnya bebatuan sampai pepohonan
yang centang perentang di kegelapan hutan tropis adalah bagian dari “paru-paru”
bumi kita. Kita sebenarnya berhutang budi kepada helai-helai rerumputan yang
setiap hari terinjak-injak kaki kita. Karena daun-daun mungilnya bersama jutaan
helai daun-daun yang lain sepanjang hari menyedot banyak karbondioksida dan
mengeluarkan sangat banyak oksigen dan uap air. Perkhidmatannya ini menjadikan
udara di sekitar kita aman dan maslahat bagi kehidupan.
Seberapa tebalkah satu helai daun? Sangat tipis sekali. Namun di balik
tipisnya dedaunan bergantung kehidupan manusia dan juga hewan baik yang di
darat maupun di lautan. Dengan memanfaatkan
pancaran radiasi sinar matahari, pepohonan dengan helai-helai daunnya
melakukan proses fotosintesis sepanjang hari. Proses kimia yang dikenal oleh hampir
semua anak sekolahan ini sebenarnya reaksi yang melibatkan beberapa molekul air
bergabung dengan beberapa molekul karbondioksida dalam proses yang didukung
energi dari sinar matahari. Dari proses “memasak makanan” ini, dihasilkan
molekul gula (glukosa) dan molekul oksigen dalam volume yang sangat banyak,
sebanyak kebutuhan udara yang dibutuhkan semua manusia dan hewan dalam pernapasan
mereka.
Di dalam sehelai daun juga terdapat sederet jaringan yang fungsinya
laksana paru-paru, dengan “lubang hidung” yang berada di bagian bawah permukaan
daun. Mengapa di bagian bawah? Mungkin kita menyangka ini kebetulan semata.
Padahal sebenarnya ini adalah tanda demikian cermatnya Zat yang menciptakan
tumbuhan dan juga menciptakan suasana dan keadaan. Dengan posisi lubang pernapasan
di bagian bawah daun, dalam keadaan apapun fungsi pernapasan daun tidak
terganggu, walau udara penuh debu yang berterbangan sehingga menutupinya.
Bagian yang tertutup debu adalah hanya bagian atas. Bagian bawah relatif tetap
bersih.
Selama ribuan tahun, tumbuh-tumbuhan sibuk menjalankan perkhidmatannya
bagi kehidupan manusia. Sebuah kerja besar yang tidak mungkin dapat ditandingi
laboratorium butan manusia manapun. Dari semua proses yang diperankan oleh
dedaunan inilah memungkinkan kehidupan di atas permukaan bumi dapat berjalan
normal. Proses yang terjadi di balik lambaian dedaunan manjadi asbab terjaganya
keseimbangan kadar oksigen, karbondioksida, nitrogen, dan gas lainnya dalam
kisaran yang tepat benar bagi kehidupan. Di sisi lain, daun-daunan adalah
sumber energi sekaligus sumber makanan nomor wahid bagi manusia dan hewan.
Jadi, tidaklah berlebihan jika dikatakan, sebenarnya kita berhutang
banyak kepada rerumputan yang menjalar senyap di pematang sawah, kepada ilalang
dan belukar yang kadang kita hujani dengan sumpah serapah karena mengotori
halaman, atau kepada hamparan suket teki yang tidak pernah protes
apalagi demo, walau saban hari gepeng penyet terinjak-injak sendal kita.
Dan Pohon pun Menangis
Kita mungkin menyangka bahwa tumbuh-tumbuhan selama hidupnya hanya
terpaku diam. Kalaupun tampak pucuk-pucuk dedaunan bergerak melambai-lambai,
itupun arena sapuan dan belaian
semilirnya angin atau goyangan tangan kita. Padahal sebagaimana makhluk hidup
lainnya, kaum tetumbuhanpun sebenarnya juga bergerak, menanggapi datangnya
rangsangan dari sekitarnya, merasakan dampak buruk dari lingkungannya bahkan
secara goibiyah, pohon-pohonpun sebenarnya turut menanggung akibat amal-amal
manusia dan juga turut berdoa untuk hamba-hamba Alloh Subhanahu wa ta’ala yang
bertungkus lumus dalam menegakkan Kalimatullah.
Jika Alloh Subhanahu wa ta’ala
melengkapi ummat manusia dengan kaki dan tangan untuk alat ikhtiar mencari suap
demi suap makanannya, Alloh Subhanahu
wa ta’ala merancang pepohonan untuk menggunakan jalaran akar-akarnya untuk
merayap dalam kegelapan tanah di antara himpitan bebatuan, untuk menemukan
tetes demi tetes sumber air dan mineral. Maka ujung-ujung akar, dilengkapi Alloh Subhanahu wa ta’ala dengan
jaringan yang berfungsi seperti “sensor” pelacak sumber air. Layaknya hidung,
sumber air yang berjarak puluhan meter akan mudah “tercium” oleh akar. Jika
koordinat sumber air telah terdeteksi, maka ujung-ujung akar akan berjibaku,
maju terus pantang mundur bergerak sampai menemukan sumber air tersebut.
Hadangan cadas yang keras membatu atau geliatan ulat atau cacing yang mampu
menegakkan bulu roma, bukanlah hambatan yang berarti bagi akar.
Sesaat setelah air ditemukan, akar segera mengirimnya ke helai demi
helai daun. Jika kita membagi satu gelas air untuk seribu orang. kita sudah kelimpungan
membayangkan cara mengukurnya atau mungkin bagaimana cara membaginya dengan
rata. Namun tidak demikian bagi akar. Seberapa banyak volume air yang didapat,
akan dibagi adil sesuai usia daun dan perannya dalam mendukung kerja istima’i
mereka, yaitu proses fotosintesis.
Dalam pembagian ini tidak dikenal istilah saling gontok-gontokan berebut
lebih dulu atau demo mogok kerja jika merasa kurang bagian atau mungkin
berkolosi dengan memberi lebih banyak kepada yang lebih dekat, layaknya dalam
dunia manusia.
Jadi bila anda bersandar sambil terkantuk-kantuk di sebatang pohon yang
rindang, sadarilah di belakang punggung anda, dibalik lapisan kulit pohon,
berlangsung kesibukan yang luar biasa. Terdapat dua macam jaringan pembuluh
angkut yang saling berseliweran. Di bagian batang, terdapat ribuan jaringan
pembuluh menjulur dari ujung-ujung akar menuju daun mengangkut air dan mineral.
sementara di bagian kulit kayu, ribuan jaringan yang lainnya membawa “hidangan
siap saji” hasil olahan dapur umum di klorofil daun menuju seluruh
bagian tanaman.
Pada tumbuhan sejenis kelapa, kurma, jagung dan lainnya, dua jenis
pembuluih ini bahkan saling bercampur dan tumpah tindih. Walau saling tumpang
tindih, setiap jaringan pengangkutan bekerja penuh disiplin. Sehingga
hampir-hampir mustahil dijumpai peristiwa tambrakan, salah jalan, serobot jalur
pihak lain atau perilaku lainnya yang lazim terjadi di jalan rayanya kaum
manusia.
Tidak semua tumbuhan melulu mengambil makanan dari dalam tanah. Beberapa
tanaman mempunyai gaya makan yang unik. Selain menyerap sari-sari makanan dari
dalam tanah mereka mencari “tambahan gizi” dengan menangkap hewan mungil yang
terbang di sekitarnya. Meski tumbuhan, tanaman jenis ini ternyata buas juga,
alias doyan makan hewan. Beberapa di antara kelompok ini adalah Kantong Semar dan Bunga Bangkai. Bunga Bangkai sendiri adalah
tanaman khas alam Indonesia. Dinamai demikian karena saat bunganya mekar, aroma
bangkai menyegat menyebar ke segala arah. Jika sejawat bunga lain menyebarkan
aroma harum untuk menarik datangnya kupu, bunga bangkaipun tak kalah jurus,
menyebarkan bau busuk untuk menarik datangnya lalat, kumbang, bahkan tikus dan
biawak, untuk selanjutnya dijadikan santapan lezatnya.
Tumbuhanpun sebenarnya juga Alloh
Subhanahu wa ta’ala lengkapi kehidupannya dengan kemampuan merespon,
menanggapi bahkan bereaksi terhadap keadaan di sekitarnya. Seperti dalam
menyikapi akan pentingnya pasokan sinar matahari, maka untuk mendapatkannya
tumbuhan akan mengerahkan semua organ tubuhnya. Daun-daunnya akan diarahkan
menghadap ke arah datangnya matahari dengan sudut tangkapan terbesar.
Ranting-ranting, dahan bahkan batang pohonpun “satu hati dan kasih sayang”
bahu-membahu mendukung takaza sang daun dalam menangkap seoptimal
mungkin sinar matahari ini. Tidak ada “iri-irian” dalam perkara ini. Semua
bagian menyadari bahkan takaza tersebut adalah hajat mereka
bersama.
Sebagai makhluk yang ditakdirkan dengan akar-akarnya yang terhunjam ke
dalam tanah, maka tumbuhan tidak bisa bergerak leluasa dengan pindah tempat
atau lari dari kedudukan semula. Namun Alloh Subhanahu wa ta’ala menciptakan
tumbuhan dengan sifat-sifat yang menakjubkan untuk mengatasi keterbatasan ini.
Bagi tumbuhan yang ditakdirkan hidup di daerah kering kerontang plus suhu udara
panas menyengat, Tumbuhan ini Alloh Subhanahu
wa ta’ala rancang dengan struktur yang menjadikannya sesedikit mungkin
kehilangan cairan. Untuk itu, pohon-pohon ini tumbuh dengan daun yang super
mungil dan bantang serta ranting dengan lapisan “zat lilin” kedap air. Dengan
“tampang” seperti ini, tumbuhan yang bermukim di daerah gurun ini terhindar
dari penguapan cairan yang berlebihan akibat teriknya terpaan mentari.
Lain halnya dengan saudara mereka yang tumbuh di daerah tropis atau yang
hidup di antara rimbunnya hutan belukar yang centang perentang. Tumbuhan-tumbuhan
ini justru Alloh Subhanahu wa ta’ala
ciptakan dengan daun-daun yang relatif lebar dan ranting-ranting yang panjang
mengurai. Dengan postur demikian, tumbuhan yang hidup di tempat lembab ini
mudah menguapkan kelebihan airnya.
Ada lagi tumbuhan yang Alloh Subhanahu
wa ta’ala lengkapi dengan jurus-jurus pamungkasnya dalam bertahan hidup.
Tumbuhan jati umpamanya, saat menghadapi musim kemarau panjang, walau
akar-akarnya sudah bergerilya malang melintang di dalam tanah, tapi air yang
didapat memang sangat terbatas. Akibatnya, untuk menghindari bahaya kematian
akibat “dihidrasi,” pohon jati dan sejenisnya melakukan tindakan penyelamatan
berupa menggugurkan daun-daunnya, Dengan rontoknya semua daun, maka bahaya
kekurangan cairan tubuh akibat penguapan yang berlebihan dapat dihindari. Kelak
jika hujan telah datang , mereka akan bersuka ria dengan tumbuhnya kembali
pucuk-pucuk daun yang ranum menghijau.
Dengan ilustrasi di atas, menyadarkan kita betapa tumbuhanpun merasakan
akibat berubahnya keadaan dan suasana di sekitarnya. Padahal sudah menjadi
kehendak Alloh Subhanahu wa ta’ala,
keadaan alam raya ini mengikuti iman dan amal manusia. Maka banyak diisyaratkan
dalam beberapa hadits, bahwa tumbuhanpun turut mendoakan orang-orang yang
sedang memperjuangan agama Alloh Subhanahu
wa ta’ala. Demikian juga mestinya pepohonanpun turut bersedih jika yang
terjadi di muka bumi merajalelanya kebathilan dan kekafiran. Apalagi di akhir
zaman ini, ketika ummat manusia demikian terbuai dengan hiruk pikuk dunia dan
sangat lalai mengingati akherat.
Mestinya kita dapat merasakan rintihan jerami di pematang sawah, atau
tangisan pohon randu di pingir jalan yang saban hari kita lalu lalang di
bawahnya, atau ratapan ilalang di sudut kebun. Mereka merintih pilu, meratap
sedu dan menangis sendu karena menyaksikan ulah kita, yang telah demikian tidak
peduli dengan perintah Alloh Subhanahu
wa ta’ala.
Keagungan Dibalik Sehelai Daun
Bila kita lebih merenungi keagungan Alloh Subhanahu wa ta’ala yang berjalan
dalam proses kehidupan tumbuhan, kita akan mendapatkan betapa rancangan yang
sempurna telah berjalan dengan keseimbangan yang menakjubkan. Seperti yang
dapat kita lihat dari terjadinya proses fotosintesis tumbuhan yang berhijau
daun.
Permukaan bumi kita 70 persennya adalah lautan. Lautanpun sangat
beragam. Mulai dari pesisir dengan hamparan rumput laut dan ganggang yang hijau
merona, sampai palung-palung laut yang kedalamannya mampu menelan gunung-gunung
yang tertinggi di permukaan dunia sekalipun. Hamparan laut yang luas inipun
sebenarnya di dalamnya Alloh Subhanahu
wa ta’ala tumbuhkan aneka jenis tumbuhan. Tumbuhan-tumbuhan itu mulai dari
yang tinggi dan panjangnya seukuran pohon kelapa, sampai yang imut-imut
seukuran seperseribu meter. Untuk dimungkinkan terjadinya proses fotosintesis
di lautan, Alloh Subhanahu wa ta’ala
telah menetapkan sifat-sifat pada cahaya dan juga pada tumbuhan dengan
perpaduan yang tepat benar.
Cahaya matahari yang merupakan unsur terpenting dalam proses ini, Alloh Subhanahu wa ta’ala rancang
dengan sifat-sifatnya yang khas, mulai dari sumbernya sampai saat menerobos
deburan ombak. Dari total radiasi energi yang sebenarnya dihasilkan matahari,
ternyata yang dipancarkan matahari kita sampai ke bumi hanya satu berbanding 1025
bagian saja. Radiasi itu berupa cahaya inframerah, sejumlah kecil cahaya
ultraviolet dan “cahaya tampak”.
Dari jenis cahaya di atas, sinar ultraviolet yang turut serta terpancar
ke arah bumi, tidak dibiarkan leluasa sampai ke permukaan bumi. Lapisan ozon di
atmosfer bumi dengan sigap akan menangkap dan menolak balik sinar yang dapat
menyebabkan kanker dan tumor ini. Hanya pancaran cahaya tampak dan sinar
inframerah-dekat saja yang dibiarkan lolos dari langit bumi. Dan memang dua
jenis cahaya inilah yang paling dihajatkan oleh aneka makhluk di permukaan bumi
terutama dalam proses fotosintesis.
Di tempat terpisah, Alloh Subhanahu
wa ta’ala menciptakan lautan dengan rancangan yang sangat tepat pula. Air
yang merupakan unsur utama lautan, dirancang untuk hanya meloloskan sebagian
saja cahaya yang dibiarkan menembusnya. Sinar inframerah yang sukses menerobos
hadangan langit bumi, hanya mampu menembus tidak sampai satu jengkal permukaan
lautan. Sehingga hanya bagian permukaan yang “tipis” ini saja yang mengalami
pemanasan karena pengaruh radiasi infra merah. Jika keadaan lautan terpaku
dalam kondisi permukaan yang panas sementara di bagian dalamnya bersuhu dingin,
tentu akan menjadikan lautan tempat yang mematikan bagi semua jenis makhluk
hidup. Untuk itu lautan dirancang oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala mempunyai
pergerakkan air yang memungkinkan panas di permukaan ini dibawa sampai jauh di
kedalaman. Sebagai hasilnya, sampai pada kedalaman tertentu, suhu air laut
dalam kisaran yang sama di seluruh dunia.
Sementara dari jenis “cahaya tampak”, warna hijau dan biru mampu
menembus lebih dari 200 meter sampai kedalaman lautan. Sinar lain semisal merah
atau kuning hanya mampu menembus kedalaman maksimum seratus meter. Dan inilah
hebatnya, karena sinar biru dan hijaulah yang sebenarnya paling dibutuhkan
dalam proses fotosintesis. Dengan rancangan demikian, memungkinkan jenis-jenis
tumbuhan semisal plankton, alga, ganggang, rumput laut dan lainnya mampu
melangsungkan fotosintesis walaupun berada di kedalaman samudera. Sebuah proses
yang akhirnya menjadi penyedia utama energi dan udara pernafasan bagi makhluk
hidup di bumi.
Tak kalah seru dengan yang terjadi di lautan, demikan juga yang terdapat
di tumbuhan darat. Di dalam ketipisan setiap helai daun, sebenarnya sepanjang
hari berlangsung “kesibukan” yang menakjubkan. Bila anda memegang sehelai daun,
sadarilah di dalamnya sebenarnya memuat maha karya hebat dari Yang Maha Hebat.
Dalam tipisnya sehelai daun, terdapat organ-organ kehidupan bagi tumbuhan. Di dalamnya
terdapat pembuluh-pembuluh angkut yang senantiasa mengirim pasokan air dan
mineral. Kemudian terdapat juga sebuah jaringan yang berfungsi sebagai “dapur
umum.” Di dapur umum inilah, dengan memanfaatkan guyuran sinar matahari,
pasokan air dan mineral diolah menjadi zat gula dan energi.
Hasil olahan ini segera diangkut oleh pembuluh angkut yang lain, dibagi
merata ke seluruh bagian tumbuhan mulai akar sampai pucuk-pucuk ranting. Apa
yang dihasilkan dari proses fotosintesis tumbuhan ini adalah komponen utama
dari sumber makanan bagi hampir semua jenis makhluk hidup di muka bumi ini.
Sehingga dapatlah dikatakan, jika dimuka bumi ini tidak lagi ada tumbuhan yang
hidup, kehidupan manusia dan hewanpun akan berakhir. Maka tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa sebenarnya satu sisi penentu masih bernafasnya kita atau anda
masih dapat membaca majalah kesayangan anda ini, berkat dari lambaian daun
kelapa di belakang rumah dan juga karena masih adanya rerumputan dan lumut yang
menjalar di sela-sela bebatuan.
Diiringi Semilir Angin
Seribu satu jalan menuju perkawinan, itulah kiranya ungkapan yang tepat
untuk kaum tumbuhan. Makhluk yang sejarah keberadaannya di dunia lebih awal
dibanding manusia ini punya banyak jurus dan strategi dalam berkawin. Ada
tumbuhan yang kelahiran anakannya ditandai dengan terbelahnya tubuh sang induk.
Setiap belahan tubuh sang induk langsung menjadi anakan yang siap meneruskan
riwayat hidup induknya. Ada lagi yang berkembang biak dengan munculnya
tunas-tunas di sekujur tubuh. Kelak setiap tunas akan berkembang menjadi
individu baru.
Dalam mitologi manusia dikenal pendekar pilih tanding bernama Jaka
Sembung, jika setiap bagian tubuhnya terpotong akan tetap hidup dan dapat
bersambung kembali. Kesaktian pendekar ini tidak ada apa-apanya dibanding
tumbuhan super mungil bernama Volvok. Tumbuhan ini di suatu waktu tubuhnya akan
“hancur berkeping-keping.” Namun bukan kematian yang datang, malah setiap
kepingan dari tubuhnya akan berkembang menjadi anakan alias individu baru.
Kayaknya tumbuhan ini benar-benar menghayati pepatah “mati satu tumbuh seribu.”
Jika dalam dunia manusia seseorang yang terlahir sebagai laki-laki
lantas ditengah perlajanan hidupnya dia berganti alat reproduksi, tentu akan
dihukumi sebagai orang yang salah kaprah. Namun tidak demikian bagi
dunia tumbuhan. Tumbuhan jenis paku-pakuan justru ditakdirkan oleh penciptanya
dengan kemampuan berganti sistem reproduksi dalam kehidupannya. Disatu saat dia
berkembangbiak dengan cara berkawin, namun setelah masa itu dia menjalani
“operasi kelamin”, sehingga organ perkawinannya berganti menjadi bentuk
“spora”.
Ada lagi jenis tumbuhan yang tergolong sangat manja. Bagaimana tidak!
Dia baru mau kawin kalau dikawinkan oleh
sang empunya kebun. Inilah pohon Vanili. Sementara tumbuhan yang lain
melangsungkan perkawinan dengan meminta bantuan angin untuk jadi mak
comblang mereka. Sperma di serbuk sari sang bunga jantan disuruh
mengantarkan semilirnya angin menuju putik bunga betina. Padahal jarak sang
bunga jantan dengan si bunga betina terkadang di pisahkan hamparan sawah bahkan
hutan dan sungai yang meliuk. Namun sang anginpun penuh ridha menjadi perantara
perkawinan ini. Sehingga perkawinan yang diiringi semilirnya angin inipun dapat
berlangsung.
Sebagian lagi tumbuhan menggunakan jasa kupu dan kumbang sebagai penghulu
atas perkawinan mereka. Bila “musim kawin” mereka telah tiba, kelopak bunga
dimekarkan seindah mungkin, lantas semerbak aroma keharuman disebarkan. Semua
ini demi berlomba merayu datangnya kupu
dan kumbang. Dan sebagai imbalan atas jasa sang kupu dan kumbang menjadi
perantara perkawinan mereka, mereka persembahkan hidangan lezat berupa nektar
dan madu.
Tidak semua tumbuhan beranak
pinak dengan cara-cara yang alami. Banyak tumbuhan untuk menyempurnakan
perkhidmatannya kepada manusia, merela merelakan tubuhnya dipotong-potong, disayat,
dipendam dalam lumpur bahkan dikerdilkan. Sikap mereka benar-benar patut
dijadikan tauladan. Betapa demi memuaskan tuannya (manusia), mereka rela
diperlakukan apa saja dan mendapat perlakuan apa saja dari tuannya yaitu
manusia.
Bila kita melihat pepohonan yang melambai-lambai dalam terpaan angin,
atau bertungkus dengan daun-daun yang mengering tersapu kemarau, atau terpaku
dalam ketawakalan saat getah-getah mereka menetes akibat terjangan kapak dan
gergaji, mestinya dapat menjadi bahan tafakur bagi kita. Kita sebagai makhluk
paling mulia ternyata belum mampu memiliki sifat ridha, tawakal dan kepasrahan
total terhadap Alloh Subhanahu wa
ta’ala, sebagaimana pepohonan mampu ridha, tawakal dan kepasrahannya kepada
tuannya (manusia).
Keagungan Dibalik Keberagaman
Jika dalam penciptaan manusia, Alloh Subhanahu wa ta’ala
menampakkan salah satu kebesaraan ciptaan-Nya berupa tidak adanya sidik jari
yang sama. Dalam penciptaan tumbuhan Alloh Subhanahu wa ta’ala
menampakkan salah satu keagungan-Nya berupa tidak adanya helai daun yang sama
persis dari bermilyard daun di seluruh dunia.
Setiap jenis tumbuhanpun diciptakan dalam rancangan yang bersesuaian
betul dengan tempat hidupnya. Beberapa jenis lumut dan rerumputan Alloh
Subhanahu wa ta’ala ciptakan untuk mampu tetap hidup walau tertimbun salju
yang membeku. Namun jenis lumut dan rerumputan lainnya diciptakan oleh Alloh
Subhanahu wa ta’ala dalam kemampuan untuk tetap hidup walau terpanggang
teriknya gurun pasir yang menganga.
Beberapa jenis jamur dirancang untuk mampu hidup tanpa pasokan udara
sekalipun,.Sementara jenis jamur yang lainnya ditakdirkan hidupnya “menghantui”
para manusia. Betapa tidak, jenis jamur ini mampu hidup di dasar rambut
manusia, di punggungnya bahkan menyelinap dalam saluran nafas manusia.
Walau demikian, dalam dunia tumbuhan tetaplah ummat manusia yang menjadi
“hantu” menakutkan dalam kehidupan mereka. Dalam sehari saja, nafsu serakah
manusia telah sukses gemilang membabat jutaan hektar hutan-hutan di seantero dunia. Sekejap saja hamparan hutan telah berubah menjadi padang
ilalang bahkan gurun. Dan akibat pertama dari keserakahan ini adalah rusaknya
tatanan keseimbangan alam, yang tanda awalnya adalah maraknya banjir bandang,
kenaikan suhu bumi dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar