Minggu, 30 April 2017

Bersatulah



Bersatulah !
Jangan Engkau Tertipu
Kejayaan Islam, adalah kalimat yang tentunya selalu menghiasi relung-relung kalbu setiap Muslim. Dan berupaya mencapainya adalah tanggung jawab diri setiap Muslim sekaligus sebagai jalan-jalan mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat.
Namun mengapa, terkadang kita demikian ceroboh atau bahkan “tidak ambil pusing” terhadap perkara-perkaa yang dapat menjadi sebab-sebab keruntuhan Islam? Bahkan demikian “masa bodohnya” kita sehingga kita justru mengobarkan benih-benih kehancuran ummat ini.
Salah satu perkara yang dapat berubah menjadi “racun kehancuran” bagi ummat ini adalah berceraiberai, perselisihan, pertengkaran, saling hujat, hilangnya sifat memuliakan sesama Muslim, pecahnya silaturahim serta amal-amal keburukan sejenis lainnya.
 
Tipu daya Para Penyamar
Adalah kenyataan, bahwa ada orang-orang ahlul batil yang tidak berkehendak  ummat Islam dalam kedaan bersatu dalam jalinan persaudaraan Muslim yang suci. Bahkan keadaan seperti ini, sudah terjadi di zaman Rasulullahr. Dalam kitab Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyuur Rahman Al Mubarakfuryd dikisahkan upaya provokasi orang-orang Yahudi terhadap para ShahabatT di Madinah.
Dalam kitab tersebut ditulis bahwa Ibnu Ishaqd menuturkan,”Syas bin Qais adalah seorang tokoh Yahudi yang sudah tua renta dan sekaligus menjadi pemimpin kekufuran. Dia sangat membenci dan mendengki orang-orang Muslim. Suatu kali dia melewati beberapa orang shahabat dari Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul dan berbincang-bincang dalam suatu majelis. Dia menjadi meradang karena melihat kerukunan, persatuan dan keakraban di antara sesama mereka karena Islam. Padahal semasa Jahiliyah, Aus dan Khazraj selalu bermusuhan.
Dia berkata sendiri, “Ada beberapa orang dari Bani Qailah yang berhimpun di tempat itu. Tidak demi Alloh, kami tidak boleh membiarkan mereka bersatu padu.” Lalu dia berkata kepada seorang pemuda Yahudi dan disuruhnya, “Hampirilah orang-orang itu dan duduklah bersama mereka. Kemudian ungkit kembali Perang Bu’ats yang pernah mereka alami. Lantunkan juga syair-syair yang pernah mereka ucapkan secara berbalas-balasan pada saat itu.”
Pemuda itu pun melakukan apa yang diperintahkan Syas. Akibatnya mereka saling berdebat dan saling membanggakan diri, hingga ada dua orang yang melompat bangkit dan adu mulut secara sengit. Salah seorang di antara keduanya berkata kepada yang lain, “Jika memang kalian menghendaki, saat ini pula kami akan menghidupkan kembali akar peperangan di antara kita.”
Kedua belah pihak (Aus dan Khazraj) ikut terpancing lalu masing-masing mengambil senjatanya, dan hampir saja terjadi adu fisik. Rasulullahr yang mendengar kejadian ini segera beranjak pergi beserta beberapa shahabat dari Muhajirin dan pergi menemui mereka. Baliau bersabda, “Wahai semua orang muslim, Alloh…Alloh…! Apakah masih ada seruan-seruan jahiliyah, padahal aku ada di tengah-tengah kalian, setelah Alloh menunjuki kalian untuk memeluk Islam, memuliakan kalian, memutuskan urusan jahiliyah  dari kalian, menyelamatkan kalian dari kekufuran dan menyatukan hati kalian dengan Islam?”
Merekapun sadar bahwa kejadian ini merupakan bisikan syetan dan tipu daya musuh mereka. Akhirnya mereka menangis sesenggukan, orang-orang Aus berpelukan dengan orang-orang Khazraj, lalu mereka beranjak meninggalkan tempat itu beserta Rasulullah. Mereka semakin taat dan patuh kepada beliau, karena Alloh telah memadamkan tipu daya musuh AllohY, Syas bin Qais.
Demikianlah salah satu gambaran bagaimana upaya  orang-orang Yahudi yang penuh kedengkian melihat bersatunya ummat Islam. Mereka dengan sistematis melakukan provokasi, menyebar issu-issu dusta, membangkitan fanatisme golongan, mengungkit-ungkit permusuhan yang semua tadi bermuara kepada satu tujuan, ummat Islam berceraiberai.
Upaya keji yang mereka lakukan seperti dalam ilustrasi diatas bukan hanya terjadi di zaman RasulullahR. Bahkan upaya-upaya itu semakin gigih mereka jalannya di era-era sekarang.
Para ahlul bathil dari kalangan Kristen maupun Zionis Yahudi banyak memiliki oknum-oknum yang bergentayangan menyusup di kalangan ummat Islam untuk menimbulkan provokasi perpecahan.  Seperti yang pernah terjadi di sebuah masjid di wilayah Ponorogo. Seseorang yang mengaku sebagai mualaf datang ke masjid tersebut dan mengaku bahwa dia telah kehilangan semua perbekalannya karena dicopet. KTP, uang, pakaian semua hilang digondol pencopet. Yang masih dimilikinya hanya satu tas kecil berisi beberapa pakaian dan beberapa buku catatan. Maka jadilah dia sosok yang patut dikasihani.
Dan itulah yang terjadi, mendapati saudara Muslim yang masih mualaf tentu jama’ah masjid tersebut merasa bertanggung jawab untuk menerima dan menyantuni tamu barunya itu. Maka jadilah si Mualaf bermukim beberapa waktu di masjid tersebut. Selama bermukim disitu sang tamu getol sekali beranjang sana ke masyarakat sekitar sambil memberi servis pijat dan penyembuhan penyakit. Disinilah mulai muncul kejanggalan. Disela-sela praktek terapi penyembuhannya dia selalu mengumbar pembicaraan yang bermuara pada kepahaman bahwa “agama itu semua sama saja” ditambah lagi dia getol sekali memancing pembicaraan untuk mengunjing suatu kelompok/organisasi Islam yang kebetulan tidak diikuti kegiatannya oleh masyarakat disitu. Muara dari pergunjingan inipun jelas, menampakkan betapa kelompok/organisasi itu tidak baik bahkan “berbahaya” bagi mereka.
Melihat gelagat yang tidak lazim ini akhirnya pemuka agama di kampung itu berinisiatif mengirim sang tamu ke masjid lain di daerah Magetan, dengan pertimbangan supaya bisa mendapatkan suasana yang lebih Islami sehingga mau memperbaiki sikapnya dan moga-moga mau tobat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Begitu menyadari bahwa kini dia berpindah ke masjid yang lebih besar dengan tokoh-tokoh yang lebih berpengaruh, maka upaya provokasi makin menjadi. Apalagi masjid ini selalu mempunyai banyak tamu dari luar daerah. Setiap mendapat peluang bertemu dengan jamaah masjid  dia dengan rapi dan penuh simpati menumbuhkan provokasi kebencian terhadap sebuah kelompok atau organisasi Islam atau kepada individu-individu tertentu.
Melihat gelagat yang tidak bersahabat ini akhirnya dilakukan upaya ikhtilat kepada sang tamu. Hasilnya terbukalah kedok penyamarannya. Ternyata dia adalah anggota sebuah kelompok misionaris berlabel Evangelis. Bersama tiga orang temannya dia bergerak di wilayah Madiun dan sekitarnya. Bos mereka adalah sebuah Sinode (jaringan antar gereja) yang berpusat di Semarang. Target penyusupan mereka satu, menimbulkan sikap saling curiga, saling membenci bahkan kalau mungkin saling bermusuhan antar kelompok Islam.
Dari dua ilustrasi di atas patut membuka kesadaran kita, bahwa memang ada pihak-pihak yang berkehendak ummat Islam saling membenci, bermusuhan dan kehilangan sifat memuliakan dan silaturahim. Berbagai cara dan tipu dayapun mereka rancang, dari yang tersamar sampai yang terang-terangan.
Namun (seperti yang tersirat dalam hadits di atas) upaya para ahlul bathil ini tidak membawa bahaya apapun jika pertama, ummat Islam memang menyadari adanya bahaya fitnah ini sehingga bersikap hati-hati dan tidak serta merta menerima begitu saja ucapan atau berita-berita dari pihak lain yang tidak jelas sumbernya. Kedua, Para ulama atau orang-orang yang dituakan di satu komonitas ummat muslim mampu bersikap arif untuk selalu mencegah timbulnya perpecahan. Ketiga, setiap diri ummat Islam memiliki sifat taat kepada arahan para ulama atau pimpinan agama mereka.

Bumerang Fanatisme
Siang itu udara panas dengan debu berterbangan di sana-sini. Satu kelompok massa berjumlah puluhan orang berarak menuju salah satu gedung bercat hijau muda yang menjadi kantor sebuah organisasi massa Islam. Terbaca dari poster yang mereka bawa dan juga dari teriakkan yang mereka lontarkan, sepertinya tujuan mereka satu yaitu; memprotes, menghardik, mengumpat para pimpinan mereka yang berkantor di gedung itu. Ada apa ini? Dilihat dari kaos dan atribut yang dikenakan para pendemo adalah satu pihak yang sama dengan papan nama yang terpampang di depan gedung yang mereka lempari telur busuk. Berarti mereka yang berteriak di depan gedung adalah pihak yang sama dengan orang-orang yang mereka lempari batu di dalam gedung. Mengapa dua saudara muslim dapat saling hujat bahkan saling lempar batu justru atas nama perjuangan agama? 
Lain lagi kisah sebuah rombongan santri yang membuat program silaturahmi ke sebuah pondok pesantren. Rombongan santri yang biasa berpakaian jubah dan sorban ini diterima langsung oleh pimpinan pondok tersebut. Begitu mendapati rombongan santri yang dari segi pakaian saja penampilannya beda dengan yang lazim dikenakan santri di pondok itu, maka sertamerta pimpinan pondok berkata, “ Maaf adik-adik,  kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jadi mohon maaf kami tidak bisa menerima sampeyan.”
Dari dua kisah diatas dapat memberi banyak pelajaran bagi kita. Pertama, betapa perbedaan pendapat diantara sesama ummat Islam  demikian mudah memancing perselisihan yang tak jarang berujung dengan kekerasan. Sehingga rasanya demikian murah harga kehormatan sesama saudara muslim. Perkara-perkara sederhana seperti urusan pemilihan pimpinan, ketidakpuasan terhadap kebijakan pemimpin, tuntutan tertentu kepada atasan dan lain sebagainya, telah cukup menjadi alasan sebagian dari ummat ini untuk melempar batu atau telur busuk bahkan mencabut pedang kearah saudara muslimnya bahkan kearah para ulama. Dan ironisnya, pertengkaran itu digelar diatas kepentingan perjuangan agama. Padahal salah satu azas dalam perjuangan agama adalah sifat satu hati dan kasih sayang serta cinta kepada ummat.
Kedua, Sebagian lagi demikian mudah menjadikan adanya perbedaan-perbadaan furu’iyah diantara sesama saudara muslim untuk menetapkan bahwa dirinya berbeda jalan, lain kelompok, bukan jama’ahnya atau bahkan dianggap pihak yang berseberangan dengannya. Sehingga saban waktu selalu saja muncul pihak yang “memonopoli kebenaran”, bahwa dirinyalah Ahlus Sunnah wal Jama”ah misalnya. Kemudian saudara muslim lain yang tidak seperti dirinya bukan golongannya, sehingga tidak perlu menjalin silaturahmi dengannya.
Perbedaan jumlah raka’at shalat taraweh telah cukup menjadi pembenaran untuk berpisah masjid. Berbeda gambar partai telah cukup menjadi alasan untuk menghukumi kafir kepada saudara muslim lainnya.
Harga wujudnya ummat yang bersatu dalam tatanan ukhuwah Islamiyah seakan demikian murah, di hadapan kepentingan idealisme kelompok atau organisasi. Menjaga jalinan silaturahmi, terkadang menjadi ungkapan yang klise saat berhadapan dengan fanatisme golongan atau daerah. Dan menjaga kehormatan seorang muslim, lebih-lebih kemuliaan para ulama, seakan telah pudar dalam lembaran kamus muamalah dan muasyarah keseharian ummat ini.
Ilustrasi di atas sekaligus menampilkan satu sisi kehidupan beragama ummat Islam yang tampil dengan semburat fanatisme di dalamnya. Dan inilah kenyataan zaman, fanatisme golongan yang berlebihan adalah sisi buruk perjalanan sejarah ummat ini. Dari zaman ke zaman di berbagai belahan dunia Islam, sikap fanatisme yang berlebihan terhadap kelompok, suku, golongan, organisasi sering berujung dengan hancurnya sisi ukhuwah Islamiyah bahkan sampai berakibat tertumpahnya darah saudara Muslim.
Lebih-lebih sikap fanatisme yang berlebihan ini jika didorong oleh sifat buruk sangka, maka akan sempurna sebagai pemicu mujarab sebuah perselisihan. Untuk ini Rasulullah bersabda, ” Jauhkanlah dirimu dari menuduh yang hanya berdasarkan sangkaan, karena tuduhan yang hanya berdasarkan sangka buruk itu sedusta-dustanya pembicaraan. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah kamu mengintai-intai, janganlah kamu saling bersaing, janganlah kamu saling mendengki, janganlah saling membenci dan janganlah saling membelakangi.”
Padahal fanatisme sendiri tatkala diartikan sebagai sikap ketaatan dan kecintaan terhadap perkara yang dituju, bersungguh-sungguh menjunjung sebuah prinsip dan bertawajuh dalam suatu amal, tentunya akan menjadi sikap yang terpuji. Namun jika dalam fanatisme didasari dengan sikap kesombongan, memandang rendah saudaranya yang lain serta menutup mata akan kebaikan dan kebenaran yang juga dimiliki saudaranya yang lain, maka fanatisme justru akan menjadi bumerang yang mudah merobek kesucian silaturahmi.  Hampir semua konflik diantara sesama Muslim di seluruh dunia berangkat dari sikap fanatisme kelompok yang didasari “arogansi kebenaran” serta besarnya motivasi keduniaan (perebutan kekuasaan, kedudukan, pengaruh dan lain-lain) di dalamnya.
Lebih jauh Rasulullah bersabda, “Cintailah secara wajar orang yang engkau cintai, karena barangkali ia menjadi orang yang engkau benci pada suatu hari. Bencilah secara wajar orang yang engkau benci, karena barangkali ia menjadi orang yang engkau cintai pada suatu hari.

Tempatkanlah dalam Kedudukannya
              Salah satu sikap yang mudah muncul dari fanatisme yang berlebihan terhadap seseorang atau kelompok adalah kerancuan dalam menempatkan seseorang dalam posisi antara harus dimuliakan atau mesti dibenci. Kerancuan bersikap ini bahkan sering menyentuh sisi kehormatan saudara muslim lainnya, lebih-lebih para ulama. Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullahr bersabda, “Diantara dosa-dosa besar adalah menjatuhkan kehormatan seorang muslim tanpa hak.”             
Lantas bagaimana mestinya kita bersikap? Maulana Muhammad Zakariyad dalam kitab Al  I’tidaal fi Maratibir Rijal (Sebab-sebab Kejayaan dan Kemunduran Ummat Islam) menulis perkataan Shahabat Mu’adz bin Jabalt kepada muridnya: “Aku Katakan kepadamu tentang kesalahan seorang yang bijak. Karena kadang-kadang syetan mengucapkan perkataan yang salah melalui lidah orang yang bijak, dan kadang-kadang orang munafik mengucapkan perkataan yang benar.” Muridnya bertanya, “Semoga Alloh merahmatimu. Bila demikian halnya bagaimana aku mengetahui bahwa seorang bijak sedang mengatakan hal yang salah dan seorang munafik sedang mengucapkan perkataan yang benar? Bagaimanakah aku dapat mengetahui perkataan yang salah dan perkataan yang benar?” Muadzt berkata, “Berhati-hatilah terhadap perkataan yang terhadapnya dikatakan, ‘Perkataan macam apa ini? Bagaimana mungkin ia dapat berkata seperti ini.’ Jangan biarkan dirimu berpaling pada orang bijak. Boleh jadi ia menarik kembali ucapannya. Kemudian engkau akan menemukan kebenaran ketika mendengarnya. Karena sesungguhnya di dalam kebenaran terdapat nur.”
Maulana Zakariyad mengajak kita untuk merenungkan pokok penting yang dikatakan oleh Sayyidina Muadzt.
Pertama, mula-mula ia mengatakan kepada kita bahwa tidak mesti setiap orang yang mengucapkan perkataan yang benar adalah seorang yang bijak. Seorang munafik juga dapat mengucapkannya. Hal ini menunjukkan bahwa hanya karena seseorang telah mendengar perkataan yang haq dari seseorang, ia tidak mesti menjadi pengikutnya yang fanatik. Kita mempunyai kebiasaan untuk menjadi pengikut yang fanatik hanya karena mendengar kata-kata yang diucapkan atau karena membaca sebuah tulisan yang ditulis olehnya. Kemudian hanya atas dasar sebuah pembicaraan dan sebuah tulisan tersebut kita cenderung memuji diri setinggi langit. Dan yang lebih parah lagi kadang-kadang kita sadar pada kenyataan bahwa seseorang yang tidak menjalankan agama dan berbuat maksiat, tetapi, karena ia mengatakan kata-kata yang sesuai dengan kehendak kita, kita berusaha untuk menunjukkan bukti bahwa dia adalah seorang waliyullah yang sangat taat menjalankan agamanya bahkan, naudzubillah min dzalik, kita menempatkannya para derajat mendekati nabi. Apabila kebetulan ia mengucapkan kata-kata yang tidak sesuai dengan kehendak kita, maka kita berusaha menutupi kesalahannya serapat-rapatnya. Akibatnya adalah orang tersebut pada suatu hari kita akan menyanjungnya, “Hidup engkau, semoga engkau panjang umur.” Dan pada hari berikutnya kita akan meneriakinya, “Celakalah kamu,” bukankah ia serupa dengan peristiwa bangun tidur dalam keadaan beriman dan berangkat tidur pada malam hari dalam keadaan kafir sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist?
Kedua, Muadzt berkata bahwa bisa saja seorang bijak sesekali mengucapkan perkataan yang dianggap salah dan menuju kesesatan. Oleh karena itu, jangan hanya mendengarkan pembicaraan seseorang satu kali atau dua kali saja. Hendaknya meneliti kenyataan dan keadaan yang sesungguhnya, merenungi, dan memikirkannya. Apabila secara keseluruhan ia terbukti sebagai seseorang yang berpegang teguh terhadap  syari’at dan menjalankan sunnah, tidak disangsikan lagi bahwa ia adalah seorang pembimbing. Tetapi apabila benar-benar diselidik ternyata ia  melakukan perbuatan yang hina dan mengucapkan perkataan yang tidak sesuai dengan agama, ia jangan dijadikan pembimbing. Dalam keadaan seperti itu janganlah menjauh dari dia. Mungkin saja, setelah mengucapkan pernyataan tersebut, ia mencabut kembali pernyataannya. Jika ia tidak mencabut lagi pernyataannya hendaklah anda menjauh darinya.
Pendek kata itulah yang dikatakan Muadzt. Banyak yang bisa direnungi dari ucapan Muadzt ini. Sekarang marilah kita melihat keadaan kita dewasa ini untuk kita renungkan. Apakah yang kita lakukan pada umumnya? Dalam otak kita terdapat beberapa pikiran yang boleh jadi tidak penting dan dangkal. Apabila kita mendengar seseorang berbicara dan mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan gagasan yang kita miliki, kita memberi pujian yang bertubi-tubi kepada pembicara, memberi dukungan sepenuhnya, bahkan bersedia menganggap perbuatannya yang benar-benar melanggar syari’at sebagai perbuatan yang ringan. Ini benar-benar merupakan kezhaliman. Mestinya perbuatan baiknya dipuji, dan perbuatan maksiatnya dicela. Atau paling tidak mengambil sikap diam terhadap perbuatan maksiatnya. Tetapi di sini kemaksiatannya justru dianggap sebagai perkara kecil, bahkan dibenarkan. Malah kadang-kadang aturan syari’at yang telah dilanggarnya dianggap sebagai suatu yang remeh. Itu belum cukup. Bahkan kita lihat mengenai shalat, (yang merupakan salah satu tiang agama yang terpenting, dan dalam beberapa hadits disebutkan sebagai pembeda di antara iman dan kufur, kata-kata tersebut sudah sering diucapkan dan ditulis, sehingga untuk mengulanginya disini menjadikan saya sangat bersedih), hanya karena pahlawan kita tidak melakukan shalat, shalat menjadi bahan ejekan dan tertawaan.
Kemudian di sisi lain, apabila kita mendapati seseorang mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan gagasan dan kehendak kita, sikap kita sangat keterlaluan, yakni menganggap setiap perbuatannya patut disalahkan. Bahkan sikap-sikap keshalihannya yang menonjol menjadi hina di mata kita.
Syari’at dan akal sehat menghendaki agar segala sesuatu ditempatkan pada tempat dan kedudukan yang semestinya, jangan terlalu ditinggikan atau direndahkan. Rasulullahr telah bersabda, “Tempatkanlah orang pada kedudukan yang semestinya.” Sayangnya dewasa ini hampir dalam semua hal kita membelok dari jalan keadilan dan melakukan perbuatan yang berlebihan.
Demikian Maulana Muhammad Zakariyad menjelaskan bagaimana mestinya bersikap terhadap seseorang, yang kepadanya kita memberi penghormatan bahkan pemuliaan.
Nasihat-nasihat di atas dapat membimbing kita akan pentingnya menjauhkan diri dari sifat mudah menjelek-jelekkan dan merendahkan saudara Muslim kita, apalagi kepada para ulama. Merendahkan para ulama adalah perbuatan keji yang sangat berbahaya bagi kesatuan ummat, bahkan lebih berbahaya lagi bagi si pelakunya. Di dalam kitab Jami’ush Shaghir terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan sederet shahabat terkemuka seperti Abdullah bin Mas’udt, Abu Hurairaht, Abdullah bin Mughaffalt dan lain-lain, yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda, ”Mencaci orang beriman adalah perbuatan fasik.”
Dengan demikian, jika seseorang dengan perkataannya bernada mencaci atau merendahkan para ulama, sesungguhnya perbuatannya itu hanyalah merugikan dirinya sendiri. Perbuatan demikian hanyalah akan menyeret diri si pencela menuju jurang kehancuran dan kebinasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar