Bersatulah !
Jangan Engkau Tertipu
Kejayaan Islam, adalah kalimat yang tentunya
selalu menghiasi relung-relung kalbu setiap Muslim. Dan berupaya mencapainya
adalah tanggung jawab diri setiap Muslim sekaligus sebagai jalan-jalan
mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat.
Namun mengapa, terkadang kita demikian ceroboh
atau bahkan “tidak ambil pusing” terhadap perkara-perkaa yang dapat menjadi
sebab-sebab keruntuhan Islam? Bahkan demikian “masa bodohnya” kita sehingga
kita justru mengobarkan benih-benih kehancuran ummat ini.
Salah satu perkara yang dapat berubah menjadi
“racun kehancuran” bagi ummat ini adalah berceraiberai, perselisihan,
pertengkaran, saling hujat, hilangnya sifat memuliakan sesama Muslim, pecahnya
silaturahim serta amal-amal keburukan sejenis lainnya.
Adalah kenyataan, bahwa ada orang-orang ahlul
batil yang tidak berkehendak ummat Islam dalam kedaan bersatu dalam
jalinan persaudaraan Muslim yang suci. Bahkan keadaan seperti ini, sudah
terjadi di zaman Rasulullahr. Dalam kitab Sirah
Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyuur Rahman Al Mubarakfuryd dikisahkan
upaya provokasi orang-orang Yahudi terhadap para ShahabatT di Madinah.
Dalam kitab tersebut ditulis bahwa Ibnu Ishaqd
menuturkan,”Syas bin Qais adalah seorang tokoh Yahudi yang sudah tua renta dan
sekaligus menjadi pemimpin kekufuran. Dia sangat membenci dan mendengki
orang-orang Muslim. Suatu kali dia melewati beberapa orang shahabat dari Aus
dan Khazraj yang sedang berkumpul dan berbincang-bincang dalam suatu majelis.
Dia menjadi meradang karena melihat kerukunan, persatuan dan keakraban di
antara sesama mereka karena Islam. Padahal semasa
Jahiliyah, Aus dan Khazraj selalu bermusuhan.
Dia berkata sendiri, “Ada beberapa orang dari
Bani Qailah yang berhimpun di tempat itu. Tidak demi Alloh, kami tidak boleh membiarkan mereka bersatu padu.” Lalu dia berkata kepada seorang
pemuda Yahudi dan disuruhnya, “Hampirilah orang-orang itu
dan duduklah bersama mereka. Kemudian ungkit kembali Perang Bu’ats yang pernah
mereka alami. Lantunkan juga syair-syair yang pernah mereka ucapkan secara
berbalas-balasan pada saat itu.”
Pemuda itu pun melakukan
apa yang diperintahkan Syas. Akibatnya mereka saling berdebat dan saling
membanggakan diri, hingga ada dua orang yang melompat bangkit dan adu mulut
secara sengit. Salah seorang di antara keduanya
berkata kepada yang lain, “Jika memang kalian menghendaki, saat ini pula kami
akan menghidupkan kembali akar peperangan di antara kita.”
Kedua belah pihak (Aus dan Khazraj) ikut
terpancing lalu masing-masing mengambil senjatanya, dan hampir saja terjadi adu
fisik. Rasulullahr yang mendengar kejadian ini segera beranjak
pergi beserta beberapa shahabat dari Muhajirin dan pergi menemui mereka. Baliau
bersabda, “Wahai semua orang muslim, Alloh…Alloh…!
Apakah masih ada seruan-seruan jahiliyah, padahal aku ada di tengah-tengah
kalian, setelah Alloh menunjuki kalian untuk memeluk
Islam, memuliakan kalian, memutuskan urusan jahiliyah dari kalian,
menyelamatkan kalian dari kekufuran dan menyatukan hati kalian dengan Islam?”
Merekapun sadar bahwa kejadian ini merupakan
bisikan syetan dan tipu daya musuh mereka. Akhirnya mereka menangis
sesenggukan, orang-orang Aus berpelukan dengan orang-orang Khazraj, lalu mereka
beranjak meninggalkan tempat itu beserta Rasulullah. Mereka semakin taat dan
patuh kepada beliau, karena Alloh telah memadamkan tipu daya musuh AllohY, Syas bin
Qais.
Demikianlah salah satu gambaran bagaimana
upaya orang-orang Yahudi yang penuh kedengkian melihat bersatunya ummat
Islam. Mereka dengan sistematis melakukan provokasi, menyebar issu-issu dusta,
membangkitan fanatisme golongan, mengungkit-ungkit permusuhan yang semua tadi
bermuara kepada satu tujuan, ummat Islam berceraiberai.
Upaya keji yang mereka lakukan seperti dalam
ilustrasi diatas bukan hanya terjadi di zaman RasulullahR. Bahkan
upaya-upaya itu semakin gigih mereka jalannya di era-era sekarang.
Para ahlul bathil dari kalangan Kristen maupun Zionis Yahudi banyak memiliki oknum-oknum yang
bergentayangan menyusup di kalangan ummat Islam untuk menimbulkan
provokasi perpecahan. Seperti yang pernah terjadi di sebuah masjid di
wilayah Ponorogo. Seseorang yang mengaku sebagai mualaf datang ke masjid
tersebut dan mengaku bahwa dia telah kehilangan semua perbekalannya karena
dicopet. KTP, uang, pakaian semua hilang digondol pencopet. Yang masih
dimilikinya hanya satu tas kecil berisi beberapa pakaian dan beberapa buku
catatan. Maka jadilah dia sosok yang patut dikasihani.
Dan itulah yang terjadi, mendapati saudara
Muslim yang masih mualaf tentu jama’ah masjid tersebut
merasa bertanggung jawab untuk menerima dan menyantuni tamu barunya itu. Maka
jadilah si Mualaf bermukim beberapa waktu di masjid tersebut. Selama bermukim
disitu sang tamu getol sekali beranjang sana ke masyarakat sekitar sambil
memberi servis pijat dan penyembuhan penyakit. Disinilah mulai muncul
kejanggalan. Disela-sela praktek terapi penyembuhannya dia selalu mengumbar
pembicaraan yang bermuara pada kepahaman bahwa “agama itu semua sama saja”
ditambah lagi dia getol sekali memancing pembicaraan untuk mengunjing suatu
kelompok/organisasi Islam yang kebetulan tidak diikuti kegiatannya oleh
masyarakat disitu. Muara dari pergunjingan inipun jelas, menampakkan betapa
kelompok/organisasi itu tidak baik bahkan “berbahaya” bagi mereka.
Melihat gelagat yang tidak lazim ini akhirnya
pemuka agama di kampung itu berinisiatif mengirim sang tamu ke masjid lain di
daerah Magetan, dengan pertimbangan supaya bisa mendapatkan suasana yang lebih
Islami sehingga mau memperbaiki sikapnya dan moga-moga mau tobat. Namun yang
terjadi justru sebaliknya. Begitu menyadari bahwa kini dia berpindah ke masjid
yang lebih besar dengan tokoh-tokoh yang lebih berpengaruh, maka upaya
provokasi makin menjadi. Apalagi masjid ini selalu mempunyai banyak tamu dari
luar daerah. Setiap mendapat peluang bertemu dengan jamaah masjid dia
dengan rapi dan penuh simpati menumbuhkan provokasi kebencian terhadap sebuah
kelompok atau organisasi Islam atau kepada individu-individu tertentu.
Melihat gelagat yang tidak bersahabat ini
akhirnya dilakukan upaya ikhtilat kepada
sang tamu. Hasilnya terbukalah kedok penyamarannya. Ternyata dia adalah anggota
sebuah kelompok misionaris berlabel Evangelis.
Bersama tiga orang temannya dia bergerak di wilayah Madiun dan sekitarnya. Bos
mereka adalah sebuah Sinode (jaringan
antar gereja) yang berpusat di Semarang. Target penyusupan mereka satu,
menimbulkan sikap saling curiga, saling membenci bahkan kalau mungkin saling
bermusuhan antar kelompok Islam.
Dari dua ilustrasi di atas patut membuka
kesadaran kita, bahwa memang ada pihak-pihak yang berkehendak ummat Islam
saling membenci, bermusuhan dan kehilangan sifat memuliakan dan silaturahim.
Berbagai cara dan tipu dayapun mereka rancang, dari yang tersamar sampai yang
terang-terangan.
Namun (seperti yang tersirat dalam hadits di
atas) upaya para ahlul bathil ini tidak membawa bahaya apapun jika pertama, ummat Islam memang menyadari
adanya bahaya fitnah ini sehingga bersikap hati-hati dan tidak serta merta
menerima begitu saja ucapan atau berita-berita dari pihak lain yang tidak jelas
sumbernya. Kedua, Para ulama atau
orang-orang yang dituakan di satu komonitas ummat muslim mampu bersikap arif
untuk selalu mencegah timbulnya perpecahan. Ketiga,
setiap diri ummat Islam memiliki sifat taat kepada arahan para ulama atau
pimpinan agama mereka.
Bumerang Fanatisme
Siang itu udara panas dengan debu berterbangan
di sana-sini. Satu kelompok massa berjumlah puluhan orang berarak menuju salah
satu gedung bercat hijau muda yang menjadi kantor sebuah organisasi massa
Islam. Terbaca dari poster yang mereka bawa dan juga dari teriakkan yang mereka
lontarkan, sepertinya tujuan mereka satu yaitu; memprotes,
menghardik, mengumpat para pimpinan mereka yang berkantor di gedung itu. Ada
apa ini? Dilihat dari kaos dan atribut yang dikenakan para pendemo adalah satu
pihak yang sama dengan papan nama yang terpampang di depan gedung yang mereka
lempari telur busuk. Berarti mereka yang berteriak di depan gedung adalah pihak
yang sama dengan orang-orang yang mereka lempari batu di dalam gedung. Mengapa dua saudara muslim dapat saling
hujat bahkan saling lempar batu justru atas nama perjuangan agama?
Lain lagi kisah sebuah rombongan santri yang
membuat program silaturahmi ke sebuah pondok pesantren. Rombongan santri yang
biasa berpakaian jubah dan sorban ini diterima langsung oleh pimpinan pondok
tersebut. Begitu mendapati rombongan santri yang dari segi pakaian saja
penampilannya beda dengan yang lazim dikenakan santri di pondok itu, maka
sertamerta pimpinan pondok berkata, “ Maaf adik-adik, kami adalah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Jadi mohon maaf kami tidak bisa menerima sampeyan.”
Dari dua kisah diatas dapat memberi banyak
pelajaran bagi kita. Pertama, betapa
perbedaan pendapat diantara sesama ummat Islam demikian mudah memancing
perselisihan yang tak jarang berujung dengan kekerasan. Sehingga rasanya
demikian murah harga kehormatan sesama saudara muslim. Perkara-perkara
sederhana seperti urusan pemilihan pimpinan, ketidakpuasan terhadap kebijakan
pemimpin, tuntutan tertentu kepada atasan dan lain sebagainya, telah cukup
menjadi alasan sebagian dari ummat ini untuk melempar batu atau telur busuk
bahkan mencabut pedang kearah saudara muslimnya bahkan kearah para ulama. Dan
ironisnya, pertengkaran itu digelar diatas kepentingan perjuangan agama.
Padahal salah satu azas dalam perjuangan agama adalah sifat satu hati dan kasih
sayang serta cinta kepada ummat.
Kedua, Sebagian lagi demikian mudah menjadikan adanya
perbedaan-perbadaan furu’iyah diantara sesama saudara muslim untuk menetapkan
bahwa dirinya berbeda jalan, lain kelompok, bukan jama’ahnya atau bahkan
dianggap pihak yang berseberangan dengannya. Sehingga saban waktu selalu saja
muncul pihak yang “memonopoli kebenaran”, bahwa dirinyalah Ahlus Sunnah wal
Jama”ah misalnya. Kemudian saudara muslim lain yang tidak seperti dirinya bukan
golongannya, sehingga tidak perlu menjalin silaturahmi dengannya.
Perbedaan jumlah raka’at shalat taraweh telah cukup
menjadi pembenaran untuk berpisah masjid. Berbeda gambar partai telah cukup
menjadi alasan untuk menghukumi kafir kepada saudara muslim lainnya.
Harga wujudnya ummat yang bersatu dalam tatanan
ukhuwah Islamiyah seakan demikian murah, di hadapan kepentingan idealisme
kelompok atau organisasi. Menjaga jalinan silaturahmi, terkadang menjadi
ungkapan yang klise saat berhadapan
dengan fanatisme golongan atau daerah. Dan menjaga kehormatan seorang muslim,
lebih-lebih kemuliaan para ulama, seakan telah pudar dalam lembaran kamus
muamalah dan muasyarah keseharian ummat ini.
Ilustrasi di atas sekaligus menampilkan satu
sisi kehidupan beragama ummat Islam yang tampil dengan semburat fanatisme di
dalamnya. Dan inilah kenyataan zaman, fanatisme golongan yang berlebihan adalah
sisi buruk perjalanan sejarah ummat ini. Dari zaman ke zaman di berbagai
belahan dunia Islam, sikap fanatisme yang berlebihan terhadap kelompok, suku,
golongan, organisasi sering berujung dengan hancurnya sisi ukhuwah Islamiyah
bahkan sampai berakibat tertumpahnya darah saudara Muslim.
Lebih-lebih sikap fanatisme yang berlebihan ini
jika didorong oleh sifat buruk sangka, maka akan sempurna sebagai pemicu
mujarab sebuah perselisihan. Untuk ini Rasulullah bersabda, ” Jauhkanlah dirimu dari menuduh yang hanya berdasarkan sangkaan, karena
tuduhan yang hanya berdasarkan sangka buruk itu sedusta-dustanya pembicaraan.
Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah kamu
mengintai-intai, janganlah kamu saling bersaing, janganlah kamu saling
mendengki, janganlah saling membenci dan janganlah saling membelakangi.”
Padahal fanatisme sendiri tatkala diartikan
sebagai sikap ketaatan dan kecintaan terhadap perkara yang dituju,
bersungguh-sungguh menjunjung sebuah prinsip dan bertawajuh dalam suatu amal,
tentunya akan menjadi sikap yang terpuji. Namun jika dalam fanatisme didasari
dengan sikap kesombongan, memandang rendah saudaranya yang lain serta menutup
mata akan kebaikan dan kebenaran yang juga dimiliki
saudaranya yang lain, maka fanatisme justru akan menjadi bumerang yang mudah
merobek kesucian silaturahmi. Hampir semua konflik diantara sesama Muslim
di seluruh dunia berangkat dari sikap fanatisme kelompok yang didasari
“arogansi kebenaran” serta besarnya motivasi keduniaan (perebutan kekuasaan,
kedudukan, pengaruh dan lain-lain) di dalamnya.
Lebih jauh Rasulullah bersabda, “Cintailah
secara wajar orang yang engkau cintai, karena barangkali ia menjadi orang yang
engkau benci pada suatu hari. Bencilah secara wajar orang yang engkau benci,
karena barangkali ia menjadi orang yang engkau cintai pada suatu hari.
Tempatkanlah dalam Kedudukannya
Salah satu sikap yang mudah muncul dari fanatisme yang berlebihan
terhadap seseorang atau kelompok adalah kerancuan dalam menempatkan seseorang
dalam posisi antara harus dimuliakan atau mesti dibenci. Kerancuan bersikap ini
bahkan sering menyentuh sisi kehormatan saudara muslim lainnya, lebih-lebih
para ulama. Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
Rasulullahr bersabda, “Diantara dosa-dosa besar adalah menjatuhkan kehormatan
seorang muslim tanpa hak.”
Lantas bagaimana mestinya kita bersikap? Maulana
Muhammad Zakariyad dalam kitab Al I’tidaal fi Maratibir Rijal (Sebab-sebab Kejayaan dan
Kemunduran Ummat Islam) menulis perkataan Shahabat Mu’adz bin Jabalt kepada
muridnya: “Aku Katakan kepadamu tentang kesalahan seorang yang bijak. Karena
kadang-kadang syetan mengucapkan perkataan yang salah melalui lidah orang yang
bijak, dan kadang-kadang orang munafik mengucapkan perkataan yang benar.”
Muridnya bertanya, “Semoga Alloh merahmatimu. Bila demikian halnya bagaimana
aku mengetahui bahwa seorang bijak sedang mengatakan hal yang salah dan seorang
munafik sedang mengucapkan perkataan yang benar? Bagaimanakah aku dapat
mengetahui perkataan yang salah dan perkataan yang benar?” Muadzt berkata,
“Berhati-hatilah terhadap perkataan yang terhadapnya dikatakan, ‘Perkataan
macam apa ini? Bagaimana mungkin ia dapat berkata seperti ini.’ Jangan biarkan
dirimu berpaling pada orang bijak. Boleh jadi ia menarik kembali ucapannya.
Kemudian engkau akan menemukan kebenaran ketika mendengarnya. Karena
sesungguhnya di dalam kebenaran terdapat nur.”
Maulana Zakariyad mengajak kita untuk
merenungkan pokok penting yang dikatakan oleh Sayyidina Muadzt.
Pertama, mula-mula ia mengatakan kepada kita bahwa tidak
mesti setiap orang yang mengucapkan perkataan yang benar adalah seorang yang
bijak. Seorang munafik juga dapat mengucapkannya. Hal ini menunjukkan bahwa
hanya karena seseorang telah mendengar perkataan yang haq dari seseorang, ia
tidak mesti menjadi pengikutnya yang fanatik. Kita mempunyai kebiasaan untuk
menjadi pengikut yang fanatik hanya karena mendengar kata-kata yang diucapkan
atau karena membaca sebuah tulisan yang ditulis olehnya. Kemudian hanya atas
dasar sebuah pembicaraan dan sebuah tulisan tersebut kita cenderung memuji diri setinggi langit. Dan yang lebih parah lagi kadang-kadang kita sadar pada kenyataan bahwa seseorang yang tidak
menjalankan agama dan berbuat maksiat, tetapi, karena
ia mengatakan kata-kata yang sesuai dengan kehendak kita, kita berusaha untuk
menunjukkan bukti bahwa dia adalah seorang waliyullah yang sangat taat
menjalankan agamanya bahkan, naudzubillah min dzalik, kita menempatkannya para derajat mendekati
nabi. Apabila kebetulan ia mengucapkan kata-kata yang tidak sesuai dengan
kehendak kita, maka kita berusaha menutupi kesalahannya serapat-rapatnya.
Akibatnya adalah orang tersebut pada suatu hari kita akan menyanjungnya, “Hidup
engkau, semoga engkau panjang umur.” Dan pada hari berikutnya kita akan
meneriakinya, “Celakalah kamu,” bukankah ia serupa dengan peristiwa bangun
tidur dalam keadaan beriman dan berangkat tidur pada malam hari dalam keadaan
kafir sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist?
Kedua, Muadzt berkata bahwa bisa saja seorang bijak sesekali
mengucapkan perkataan yang dianggap salah dan menuju kesesatan. Oleh karena
itu, jangan hanya mendengarkan pembicaraan seseorang
satu kali atau dua kali saja. Hendaknya meneliti kenyataan dan keadaan yang
sesungguhnya, merenungi, dan memikirkannya. Apabila
secara keseluruhan ia terbukti sebagai seseorang yang berpegang teguh
terhadap syari’at dan menjalankan sunnah, tidak disangsikan lagi bahwa ia
adalah seorang pembimbing. Tetapi apabila benar-benar diselidik ternyata
ia melakukan perbuatan yang hina dan mengucapkan perkataan yang tidak
sesuai dengan agama, ia jangan dijadikan pembimbing. Dalam keadaan seperti itu
janganlah menjauh dari dia. Mungkin saja, setelah mengucapkan pernyataan
tersebut, ia mencabut kembali pernyataannya. Jika ia tidak mencabut lagi
pernyataannya hendaklah anda menjauh darinya.
Pendek kata itulah yang dikatakan Muadzt. Banyak yang
bisa direnungi dari ucapan Muadzt ini. Sekarang marilah kita melihat keadaan kita
dewasa ini untuk kita renungkan. Apakah yang kita lakukan pada umumnya? Dalam
otak kita terdapat beberapa pikiran yang boleh jadi
tidak penting dan dangkal. Apabila kita mendengar seseorang berbicara dan
mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan gagasan yang kita miliki, kita memberi
pujian yang bertubi-tubi kepada pembicara, memberi dukungan sepenuhnya, bahkan
bersedia menganggap perbuatannya yang benar-benar melanggar syari’at sebagai
perbuatan yang ringan. Ini benar-benar merupakan kezhaliman. Mestinya perbuatan
baiknya dipuji, dan perbuatan maksiatnya dicela. Atau paling tidak mengambil
sikap diam terhadap perbuatan maksiatnya. Tetapi di sini kemaksiatannya justru dianggap sebagai perkara kecil, bahkan
dibenarkan. Malah kadang-kadang aturan syari’at yang telah dilanggarnya
dianggap sebagai suatu yang remeh. Itu belum cukup. Bahkan kita lihat mengenai
shalat, (yang merupakan salah satu tiang agama yang terpenting, dan dalam
beberapa hadits disebutkan sebagai pembeda di antara iman dan kufur, kata-kata
tersebut sudah sering diucapkan dan ditulis, sehingga untuk mengulanginya
disini menjadikan saya sangat bersedih), hanya karena
pahlawan kita tidak melakukan shalat, shalat menjadi bahan ejekan dan
tertawaan.
Kemudian di sisi lain,
apabila kita mendapati seseorang mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan
gagasan dan kehendak kita, sikap kita sangat keterlaluan, yakni menganggap
setiap perbuatannya patut disalahkan. Bahkan sikap-sikap keshalihannya yang
menonjol menjadi hina di mata kita.
Syari’at dan akal sehat menghendaki agar segala
sesuatu ditempatkan pada tempat dan kedudukan yang semestinya, jangan terlalu
ditinggikan atau direndahkan. Rasulullahr telah bersabda, “Tempatkanlah orang pada
kedudukan yang semestinya.” Sayangnya dewasa ini hampir
dalam semua hal kita membelok dari jalan keadilan dan melakukan perbuatan yang
berlebihan.
Demikian Maulana Muhammad Zakariyad menjelaskan
bagaimana mestinya bersikap terhadap seseorang, yang kepadanya kita memberi
penghormatan bahkan pemuliaan.
Nasihat-nasihat di atas dapat membimbing kita
akan pentingnya menjauhkan diri dari sifat mudah menjelek-jelekkan dan
merendahkan saudara Muslim kita, apalagi kepada para ulama. Merendahkan para ulama adalah perbuatan keji yang sangat berbahaya bagi
kesatuan ummat, bahkan lebih berbahaya lagi bagi si pelakunya. Di dalam kitab Jami’ush Shaghir terdapat sebuah hadits yang
diriwayatkan sederet shahabat terkemuka seperti Abdullah bin Mas’udt, Abu Hurairaht, Abdullah bin
Mughaffalt dan lain-lain, yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda, ”Mencaci orang beriman adalah perbuatan
fasik.”
Dengan demikian, jika seseorang dengan
perkataannya bernada mencaci atau merendahkan para ulama, sesungguhnya
perbuatannya itu hanyalah merugikan dirinya sendiri. Perbuatan demikian
hanyalah akan menyeret diri si pencela menuju jurang kehancuran dan kebinasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar