SEMANGAT BADAR
THOLABUL ‘ILMI IBU-IBU AMALI
(dinukil dari rubrik majalah Trangkil)
Orang-orang pendidikan berteriak lantang ‘Long life education’ (pendidikan harus dijalani seumur hidup). Islam
menyatakan:
اُطْلُبُوا
العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ
“Tuntutlah
ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.”
Ungkapan sakti inilah yang mengantar kalangan rematu (remaja
tua) berdatangan ke Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro. Mereka berasal bukan
hanya dari daerah-daerah, tetapi juga dari negara-negara Asia Tenggara. Bermodal
ingin mencari ilmu sebagaimana yang diperintahkan
Alloh, menuntut ilmu agama untuk langsung diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari, dan menghabiskan sisa-sisa umur untuk taat kepada Sang Kholik
mereka masuk Program Amali.
Tidak heran jika Kelas Amali atau Program Amali dipenuhi oleh kalangan
orang tua usia 30 tahun ke atas, bahkan banyak
yang sudah memiliki cucu. Namun, semangat tidak pernah pudar. Ekspresi
sumringah ibu-ibu senantiasa terpancar dari wajah yang sudah mulai banyak diliputi
kerutan.
Dengan semangat badar 313 yang membara di dalam dada, ibu-ibu mencurahkan
segala kemampuan kognitifnya atau daya tangkapnya yang sudah semakin menyusut untuk
menyerap pelajaran dari kitab yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, dan
muasyaroh yang diajarkan oleh ustadz atau ustadzah. Daya tangkap yang sudah berkurang
tidak membuat ibu-ibu patah arang dalam mendalami ilmu-ilmu agama.
Semangat yang menggebu-gebu telah
merobohkan benteng kebodohan yang selama ini berdiri kokoh dalam kehidupan
ibu-ibu.
Suasana PBM (Program Belajar Mengjar) di Kelas Amali diwarnai dengan
derasnya berbagai macam pertanyaan ibu-ibu mengenai realitas kehidupan nyata
baik yang dialami oleh diri sendiri, keluarga, tetangga, teman, maupun
lingkungan sekitar. Terkadang para
ustadz atau ustadzah kewalahan menerima pertanyaan ibu-ibu yang laksana
anak-anak panah yang melesat dari busurnya.
Tidak puas dengan jawaban dari para pengajar, maka ibu-ibu pasti akan
berlanjut dalam acara ‘rumpian ilmu’
dengan sesama mbok-mbok dan mbak-mbak. Sampai akhirnya banyak pertanyaan
ibu-ibu amali dimasukkan dalam pembahasan Bahtsul Masail Pondok
Pesantren Al-Fatah Temboro. Alhasil, biasanya ibu-ibu akan bersorak kegirangan
seperti anak kecil dikasih balon gas oleh ayahnya. Mereka merasa puas kalau pertanyaan
mereka dibahas pada Bahtsul Masail, bisa didengarkan di Radio Trankil,
atau dipancarsiarkan di Trankil.Net.
Sungguh, bisa dibilang suatu perjuangan yang sangat spektakuler bagi ibu-ibu
yang belajar di Kelas Amali. Betapa tidak, pagi-pagi sebelum berangkat ngaji,
ibu-ibu harus bermandikan peluh mempersiapkan segala sesuatunya sambil menyelesaikan
amalan harian sebagai hamba Alloh, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang
bertumpuk, berkhidmat suami, anak-anak, cucu, dan lain-lain. Kadang mereka
harus ‘sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampau’ menyelesaikan berbagai
pekerjaan rumah tangga dan berkhidmat kepada keluarga secara bersamaan. Hal itu
harus merka lakukan sebelum deadline masuk kelas, yaitu sebelum pukul
06.30. Super ngebut, tetapi alhamdulillah tidak sampai ‘serba benjut’!
Bisa dibayangkan, betapa super-super repotnya ibu-ibu karena harus melipatgandakan energi, konsentrasi,
pikiran, perasaan, dan waktu demi menuntut ilmu pada Program Amali tersebut.
Semua dilakukan insyaAlloh semata-mata untuk mencari keridhoan Alloh semata.
Untung suami dan anak-anak mendukung pengorbanan istri dan ibunya.
Sungguh luar biasa. Suatu pemandangan hebat yang mungkin susah ditemukan di
tempat selain Temboro.
Semangat para ibu menuntut ilmu pada masa tua bersaing ketat dengan
santri muda usia belasan yang mengikuti program amali juga. Entah karena
didorong oleh semangat dan keinginan dan suatu prinsip kuat ‘saya harus belajar sungguh-sungguh
karena sudah ketinggalan waktu tahunan’ yang mendorong ibu-ibu banyak
berprestasi dalam nilai. Sebagai bukti konkret, the best ten Kelas Amali
didominasi oleh ibu-ibu. Ibu-ibu mengalahkan santri-santri muda adalah suatu
prestasi besar dan luar biasa dalam dunia pendidikan!
Hal itu mengisyaratkan, robohnya suatu paradigma yang menyatakan bahwa
kalau sudah tua belajar itu susah karena otaknya sudah jarang dipakai. Teori
ini tidak berlaku dalam kelas amali karena bukti berbicara banyak ibu-ibu yang
masuk the best ten dibandingkan santri muda usia belasan. Hal ini juga
yang menyebabkan santri tua kelas amali semakin dipadati oleh kalangan tua.
Seringkali juga terdapat santri yang sudah sepuh berusia sekitar 60
tahun ke atas, sudah bercucu dan berbuyut atau istilah yang menyeramkan ‘Usia
yang sudah mencium aroma kuburan’ tapi tetap semangat belajar amali dan juga
menghapal Al-Qur’an. Dengan terbata-bata dalam kesungguhan membaca Al-Qur’an,
dalam tersendat-sendat membaca kitab amali,
banyak air mata menetes menyaksikan kesungguhannya. Semoga Alloh
meridhoi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar