Sabtu, 15 April 2017

Amali Putri



SEMANGAT BADAR
THOLABUL ‘ILMI IBU-IBU AMALI
(dinukil dari rubrik majalah Trangkil)

Orang-orang pendidikan berteriak lantang ‘Long life education’ (pendidikan harus dijalani seumur hidup). Islam menyatakan:
اُطْلُبُوا العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.
Ungkapan sakti inilah yang mengantar kalangan rematu (remaja tua) berdatangan ke Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro. Mereka berasal bukan hanya dari daerah-daerah, tetapi juga dari negara-negara Asia Tenggara. Bermodal ingin mencari ilmu sebagaimana  yang diperintahkan Alloh, menuntut ilmu agama untuk langsung diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan menghabiskan sisa-sisa umur untuk taat kepada Sang Kholik mereka masuk Program Amali.

Tidak heran jika Kelas Amali atau Program Amali dipenuhi oleh kalangan orang tua usia 30 tahun ke atas, bahkan banyak  yang sudah memiliki cucu. Namun, semangat tidak pernah pudar. Ekspresi sumringah ibu-ibu senantiasa terpancar dari wajah yang sudah mulai banyak diliputi kerutan.
Dengan semangat badar 313 yang membara di dalam dada, ibu-ibu mencurahkan segala kemampuan kognitifnya atau daya tangkapnya yang sudah semakin menyusut untuk menyerap pelajaran dari kitab yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, dan muasyaroh yang diajarkan oleh ustadz atau ustadzah. Daya tangkap yang sudah berkurang tidak membuat ibu-ibu patah arang dalam mendalami ilmu-ilmu agama. Semangat  yang menggebu-gebu telah merobohkan benteng kebodohan yang selama ini berdiri kokoh dalam kehidupan ibu-ibu.
Suasana PBM (Program Belajar Mengjar) di Kelas Amali diwarnai dengan derasnya berbagai macam pertanyaan ibu-ibu mengenai realitas kehidupan nyata baik yang dialami oleh diri sendiri, keluarga, tetangga, teman, maupun lingkungan sekitar.  Terkadang para ustadz atau ustadzah kewalahan menerima pertanyaan ibu-ibu yang laksana anak-anak panah yang melesat dari busurnya.
Tidak puas dengan jawaban dari para pengajar, maka ibu-ibu pasti akan berlanjut dalam acara ‘rumpian ilmu’ dengan sesama mbok-mbok dan mbak-mbak. Sampai akhirnya banyak pertanyaan ibu-ibu amali dimasukkan dalam pembahasan Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro. Alhasil, biasanya ibu-ibu akan bersorak kegirangan seperti anak kecil dikasih balon gas oleh ayahnya. Mereka merasa puas kalau pertanyaan mereka dibahas pada Bahtsul Masail, bisa didengarkan di Radio Trankil, atau dipancarsiarkan di Trankil.Net.
Sungguh, bisa dibilang suatu perjuangan yang sangat spektakuler bagi ibu-ibu yang belajar di Kelas Amali. Betapa tidak, pagi-pagi sebelum berangkat ngaji, ibu-ibu harus bermandikan peluh mempersiapkan segala sesuatunya sambil menyelesaikan amalan harian sebagai hamba Alloh, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang bertumpuk, berkhidmat suami, anak-anak, cucu, dan lain-lain. Kadang mereka harus ‘sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampau’ menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah tangga dan berkhidmat kepada keluarga secara bersamaan. Hal itu harus merka lakukan sebelum deadline masuk kelas, yaitu sebelum pukul 06.30. Super ngebut, tetapi alhamdulillah tidak sampai ‘serba benjut’!
Bisa dibayangkan, betapa super-super repotnya ibu-ibu  karena harus melipatgandakan energi, konsentrasi, pikiran, perasaan, dan waktu demi menuntut ilmu pada Program Amali tersebut. Semua dilakukan insyaAlloh semata-mata untuk mencari keridhoan Alloh semata.
Untung suami dan anak-anak mendukung pengorbanan istri dan ibunya. Sungguh luar biasa. Suatu pemandangan hebat yang mungkin susah ditemukan di tempat selain Temboro.
Semangat para ibu menuntut ilmu pada masa tua bersaing ketat dengan santri muda usia belasan yang mengikuti program amali juga. Entah karena didorong oleh semangat dan keinginan dan suatu prinsip  kuat ‘saya harus belajar sungguh-sungguh karena sudah ketinggalan waktu tahunan’ yang mendorong ibu-ibu banyak berprestasi dalam nilai. Sebagai bukti konkret, the best ten Kelas Amali didominasi oleh ibu-ibu. Ibu-ibu mengalahkan santri-santri muda adalah suatu prestasi besar dan luar biasa dalam dunia pendidikan!
Hal itu mengisyaratkan, robohnya suatu paradigma yang menyatakan bahwa kalau sudah tua belajar itu susah karena otaknya sudah jarang dipakai. Teori ini tidak berlaku dalam kelas amali karena bukti berbicara banyak ibu-ibu yang masuk the best ten dibandingkan santri muda usia belasan. Hal ini juga yang menyebabkan santri tua kelas amali semakin dipadati oleh kalangan tua.
Seringkali juga terdapat santri yang sudah sepuh berusia sekitar 60 tahun ke atas, sudah bercucu dan berbuyut atau istilah yang menyeramkan ‘Usia yang sudah mencium aroma kuburan’ tapi tetap semangat belajar amali dan juga menghapal Al-Qur’an. Dengan terbata-bata dalam kesungguhan membaca Al-Qur’an, dalam tersendat-sendat membaca kitab amali,  banyak air mata menetes menyaksikan kesungguhannya. Semoga Alloh meridhoi.

Ummu Abu Bakar Al-Atiq, guru di MA Al-Fatah Temboro (Putri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar