PLURALISME SEBAGAI "AGAMA BARU"
Paham
pluralisme berdiri di atas kepahaman bahwa semua agama adalah sama. Ibarat
sebuah jalan, perbedaan antar agama hanya digambarkan laksana berbagai
jalurnya, namun pada akhirnya bermuara ke satu tujuan jua. Berangkat dari
perumusan makna agama yang demikian ini, lahirlah dorongan untuk memunculkan
nilai-nilai baru yang dianggap dapat mewakili prinsip-prinsip keberagamaan
semua agama, bahkan dapat mewakili kepentingan pihak-pihak yang berdiri di luar kepentingan agama sekalipun.
Pluralisme dan “Kaidah Satu Tujuan”
Dalam
kehidupan ala plural, orang harus tunduk kepada
nilai-nilai baru yang nantinya lazim dinamai “nilai-nilai global atau
universal.” Rumusan ini dijadikan instrument baru untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat. Agama dengan segenap kesakralannya harus rela merevisi
ajaran-ajarannya bersesuaian dengan nilai-nilai global tersebut. Jika tidak,
agama tersebut akan dianggap melanggar kaidah universalisme yang rukun-rukunnya
berupa issu HAM, emansipasi, toleransi, pluralisme, environment , free trade, dan lain-lain.
Siapakah
yang menentukan nilai-nilai global itu? Sebuah pertanyaan mengelitik yang jika
kita mau jujur menjawabnya, kita justru akan menemukan siapa sebenarnya “aktor”
di balik ini semua. Kenyataan yang kasat mata, negara-negara Barat yang sekuler
(baca: Kaum Zionis, Amerika Serikat, dan sekutunya) adalah pihak yang merasa
“paling berhak” menentukan nilai-nilai kebenaran dalam kerangka nilai-nilai
global ini.
Layaknya
sebuah agama, maka nilai-nilai universal dalam kaidah pluralisme kini digunakan
untuk menilai dan menentukan permasalahan ummat manusia. Dengan menggunakan
lembaga-lembaga internasional seperti PBB, Bank Dunia, WTO dan lain-lain,
mereka merasa yang paling berwenang memutuskan sebuah negara patut dibantu
(tetap eksis) atau pantas dihapus dari peta dunia. Mereka tidak boleh dibantah
saat menobatkan atau menvonis seseorang, kelompok, atau negara sebagai pembela
kemanusiaan atau justru sebagai teroris.
Paham pluralisme adalah anak kandung dari paham sekulerisme. Sekulerisme
sendiri secara umum dapat diartikan sebagai pemisahan antara urusan dunia
dengan urusan agama. Paham ini sendiri muncul dari kegundahan dan ketidakpuasan
masyarakat Eropa terhadap kebobrokan dan penyimpangan kaum agamis (baca: gereja
Kristen).
Di Indonesia upaya penyebaran paham sekuler dan plural sudah berkembang bersamaan
dengan kedatangan bangsa penjajah Eropa (Belanda) ke tanah air. Bersama
rombongan para penjajah ini turut serta (dan memang sengaja diikutsertakan)
kelompok Theosofi dari kalangan Freemasonry Yahudi. Kelompok ini berperan dalam
upaya “memberdayakan kaum pribumi”. Mereka merekrut kaum pribumi terpelajar
untuk dikenalkan kepada berbagai idealisme sekuler yang seolah-olah merupakan
kata kunci menuju “Tatanan Dunia Baru”.
Kisah
bergentayangannya para Theosofi yang akhirnya berhasil merekrut para tokoh
bangsa menjadi anak didiknya ini patut menjadi bahan perenungan bersama. Betapa
tidak, paham yang salah satu semboyannya ”Persaudaraan universal tanpa
memandang batas-batas agama” ini sebenarnya terang-terang dalam satu tujuan
menghancurkan sendi-sendi akidah Islam.
Kini, NU dengan dukungan pemerintah,
terang-terangan mengerek tinggi-tinggi bendera pluralisme di Indonesia melalui
proyek besar berlabel Islam Nusantara.
Pemikiran kelompok yang berkeyakinan
bahwa Islam di Indonesia
tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah ini sebagian
berlatar belakang kampus, bahkan tidak sedikit yang berlatar belakang pondokan.
Bila kita
cermati, mereka yang mengusung bendera pluralisme ini adalah orang-orang yang
pada awalnya mempunyai kegundahan dan ketidakpuasan dengan “nilai-nilai Islam”
yang telah ada. Mereka menganggap nilai-nilai Islam tidak mampu lagi menjawab
tantangan jaman.
Bersamaan dengan kegundahannya ini,
mereka terperangah, takjub, atau kagum dengan “dunia luar” berupa
peradaban, idealisme, dan budaya Barat yang berazaskan sekuler dan plural.
Dan yang
lebih konyol, di kalangan orang-orang yang menjadikan slogan menjaga
kearifan local ini, (mungkin karena grogi dengan nilai-nilai baru ini)
menganggap paham pluralisme sebagai sebuah kebaikan mutlak. Sehingga dengan
penuh semangat, bahkan atas nama ijtihad,
mereka tidak malu-malu membuat gerakan mempluralismekan nilai-nilai Islam yang selama
ini sudah terkemas sempurna dalam tatanan syariah yang dibawa Rasulullah.
Sedikit
contoh upaya mereka misalnya mengganti ucapan Salam dengan ucapan Selamat
Pagi atau sapaan umum lainnya. Pakaian sunnah seperti jilbab, surban,
jubah, dan lain-lain dipandang sebagai peninggalan budaya Arab semata, bukan
dari ajaran baku dalam Islam. Maka ummat Islam sebaiknya mengambil gaya
berbusana yang lebih mencerminkan nilai-nilai universal. Nilai-nilai sunnah
dalam keseharian dipandang peninggalan adat istiadat zaman unta, sehingga harus
diganti dengan gaya hidup modern yang mengadopsi nilai-nilai universal.
Bahkan
kesucian pribadi Rasulullah dipandang perlu dikoreksi. Pribadi Rasulullah
diyakini bukanlah pribadi yang tanpa dosa dan sangat mungkin membuat kesalahan
dalam ajarannya. Maka dianggap tidak ada salahnya, dilakukan koreksi ulang atau
setidaknya penafsiran ulang terhadap nilai-nilai Islam yang Beliau tinggalkan,
supaya tidak menyalahi nilai-nilai pluralisme.
Al-Qur’an pun
diyakini bukanlah sumber kebenaran yang hakiki. Ajaran dari Al-Qur’an barulah
dianggap sebagai nilai kebaikan jika sudah diperbandingkan dengan berita dari
kitab-kitab suci agama lain atau setidaknya tidak menyalahi nilai-nilai
pluralisme yang universal.
Lantas
“Islam”, mereka artikan sebagai “agama penyerahan diri.” Maka siapa saja
asalkan mengambil kaidah percaya adanya tuhan, penyerahan diri kepada tuhan,
tidak peduli siapa tuhan yang dituju, maka dia patut digolongkan sebagai
“Islam” juga. Sehingga kepadanya patut mendapat pahala dan surga dari kebaikan
yang dilakukan sebagaimana kaum Muslim mendapatkannya.
Menuju Kehidupan Bebas
Isu
pluralisme dan semacamnya tidak lebih hanyalah upaya pengkerdilan terhadap nilai-nilai kebesaran agama, khususnya agama
Islam. Bahkan dapat dikatakan, pluralisme tidak lebih upaya para ahlul bathil
untuk menggiring ummat Islam menuju kehidupan liar, yang terlepas dari aturan
suci yang dikehendaki Alloh. Sebagai
bahan referensi tidak ada salahnya kita simak ungkapan Samuel Zweimer, seorang
Yahudi tulen yang juga menjabat pimpinan misi Kristen dalam Konferensi
Misionaris di kota Quds tahun 1935. Dia menyatakan,”Misi utama kita bukan
menghancurkan kaum Muslimin sebagai orang Kristen (baca: mengkristenkan), namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi
orang yang tidak berakhlak sebagaimana seorang Muslim. Dengan begitu akan
membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian
adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang
sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas dan hanya mengejar
kepuasan hawa nafsu.”
Sebagai
sebuah paham yang dapat menyeret seorang Muslim dalam kemurtadan, maka
pluralisme menjadi sangat berbahaya. Lebih berbahaya lagi karena mereka yang
mengusungnya adalah orang-orang yang dalam kesehariannya dipandang sebagai
seorang Muslim, bahkan tokoh Muslim.
Kini,
laju pluralisme di Indonesia mendapatkan tumpangan kendaraan berplat
merah melalui diusungnya ide Islam Nusantara. Sebagai proyek besar
berstempel pemerintah, semoga para penganut Jemaat Islam Nusantara (JIN) tidak
terjangkiti phobia kekuasaan dengan
menghukumi pihak yang tidak menganut
paham JIN sebagai sesat, anti demokrasi, radikal, bahkan…teroris. (dikutip
dari Majalah Al Madinah dengan berbagai
editing)
luralisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar