Rabu, 23 Januari 2019

Pluralisme



PLURALISME SEBAGAI "AGAMA BARU"
Paham pluralisme berdiri di atas kepahaman bahwa semua agama adalah sama. Ibarat sebuah jalan, perbedaan antar agama hanya digambarkan laksana berbagai jalurnya, namun pada akhirnya bermuara ke satu tujuan jua. Berangkat dari perumusan makna agama yang demikian ini, lahirlah dorongan untuk memunculkan nilai-nilai baru yang dianggap dapat mewakili prinsip-prinsip keberagamaan semua agama, bahkan dapat mewakili kepentingan pihak-pihak yang berdiri di luar kepentingan agama sekalipun.

Pluralisme dan “Kaidah Satu Tujuan”
Dalam kehidupan ala plural, orang harus tunduk kepada  nilai-nilai baru yang nantinya lazim dinamai “nilai-nilai global atau universal.” Rumusan ini dijadikan instrument baru untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Agama dengan segenap kesakralannya harus rela merevisi ajaran-ajarannya bersesuaian dengan nilai-nilai global tersebut. Jika tidak, agama tersebut akan dianggap melanggar kaidah universalisme yang rukun-rukunnya berupa issu HAM, emansipasi, toleransi, pluralisme, environment , free trade, dan lain-lain.
Siapakah yang menentukan nilai-nilai global itu? Sebuah pertanyaan mengelitik yang jika kita mau jujur menjawabnya, kita justru akan menemukan siapa sebenarnya “aktor” di balik ini semua. Kenyataan yang kasat mata, negara-negara Barat yang sekuler (baca: Kaum Zionis, Amerika Serikat, dan sekutunya) adalah pihak yang merasa “paling berhak” menentukan nilai-nilai kebenaran dalam kerangka nilai-nilai global ini.
Layaknya sebuah agama, maka nilai-nilai universal dalam kaidah pluralisme kini digunakan untuk menilai dan menentukan permasalahan ummat manusia. Dengan menggunakan lembaga-lembaga internasional seperti PBB, Bank Dunia, WTO dan lain-lain, mereka merasa yang paling berwenang memutuskan sebuah negara patut dibantu (tetap eksis) atau pantas dihapus dari peta dunia. Mereka tidak boleh dibantah saat menobatkan atau menvonis seseorang, kelompok, atau negara sebagai pembela kemanusiaan atau justru sebagai teroris.
                Paham pluralisme adalah anak kandung dari paham sekulerisme. Sekulerisme sendiri secara umum dapat diartikan sebagai pemisahan antara urusan dunia dengan urusan agama. Paham ini sendiri muncul dari kegundahan dan ketidakpuasan masyarakat Eropa terhadap kebobrokan dan penyimpangan kaum agamis (baca: gereja Kristen).
Di Indonesia upaya penyebaran paham sekuler dan plural sudah berkembang bersamaan dengan kedatangan bangsa penjajah Eropa (Belanda) ke tanah air. Bersama rombongan para penjajah ini turut serta (dan memang sengaja diikutsertakan) kelompok Theosofi dari kalangan Freemasonry Yahudi. Kelompok ini berperan dalam upaya “memberdayakan kaum pribumi”. Mereka merekrut kaum pribumi terpelajar untuk dikenalkan kepada berbagai idealisme sekuler yang seolah-olah merupakan kata kunci menuju “Tatanan Dunia Baru”.
Kisah bergentayangannya para Theosofi yang akhirnya berhasil merekrut para tokoh bangsa menjadi anak didiknya ini patut menjadi bahan perenungan bersama. Betapa tidak, paham yang salah satu semboyannya ”Persaudaraan universal tanpa memandang batas-batas agama” ini sebenarnya terang-terang dalam satu tujuan menghancurkan sendi-sendi akidah Islam.
Kini, NU dengan dukungan pemerintah, terang-terangan mengerek tinggi-tinggi bendera pluralisme di Indonesia melalui proyek besar berlabel Islam Nusantara.  Pemikiran kelompok yang berkeyakinan bahwa Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah ini sebagian berlatar belakang kampus, bahkan tidak sedikit yang berlatar belakang pondokan.
Bila kita cermati, mereka yang mengusung bendera pluralisme ini adalah orang-orang yang pada awalnya mempunyai kegundahan dan ketidakpuasan dengan “nilai-nilai Islam” yang telah ada. Mereka menganggap nilai-nilai Islam tidak mampu lagi menjawab tantangan jaman.
Bersamaan dengan kegundahannya ini, mereka  terperangah, takjub, atau kagum dengan “dunia luar” berupa peradaban, idealisme, dan budaya Barat yang berazaskan sekuler dan plural.
Dan yang lebih konyol, di kalangan orang-orang yang  menjadikan slogan menjaga kearifan local ini, (mungkin karena grogi dengan nilai-nilai baru ini) menganggap paham pluralisme sebagai sebuah kebaikan mutlak. Sehingga dengan penuh semangat, bahkan atas nama ijtihad, mereka tidak malu-malu membuat gerakan mempluralismekan nilai-nilai Islam yang selama ini sudah terkemas sempurna dalam tatanan syariah yang dibawa Rasulullah.
Sedikit contoh upaya mereka misalnya mengganti ucapan Salam dengan ucapan Selamat Pagi atau sapaan umum lainnya. Pakaian sunnah seperti jilbab, surban, jubah, dan lain-lain dipandang sebagai peninggalan budaya Arab semata, bukan dari ajaran baku dalam Islam. Maka ummat Islam sebaiknya mengambil gaya berbusana yang lebih mencerminkan nilai-nilai universal. Nilai-nilai sunnah dalam keseharian dipandang peninggalan adat istiadat zaman unta, sehingga harus diganti dengan gaya hidup modern yang mengadopsi nilai-nilai universal.
Bahkan kesucian pribadi Rasulullah dipandang perlu dikoreksi. Pribadi Rasulullah diyakini bukanlah pribadi yang tanpa dosa dan sangat mungkin membuat kesalahan dalam ajarannya. Maka dianggap tidak ada salahnya, dilakukan koreksi ulang atau setidaknya penafsiran ulang terhadap nilai-nilai Islam yang Beliau tinggalkan, supaya tidak menyalahi nilai-nilai pluralisme.
Al-Qur’an pun diyakini bukanlah sumber kebenaran yang hakiki. Ajaran dari Al-Qur’an barulah dianggap sebagai nilai kebaikan jika sudah diperbandingkan dengan berita dari kitab-kitab suci agama lain atau setidaknya tidak menyalahi nilai-nilai pluralisme yang universal.
Lantas “Islam”, mereka artikan sebagai “agama penyerahan diri.” Maka siapa saja asalkan mengambil kaidah percaya adanya tuhan, penyerahan diri kepada tuhan, tidak peduli siapa tuhan yang dituju, maka dia patut digolongkan sebagai “Islam” juga. Sehingga kepadanya patut mendapat pahala dan surga dari kebaikan yang dilakukan sebagaimana kaum Muslim mendapatkannya.

Menuju Kehidupan Bebas
Isu pluralisme dan semacamnya tidak lebih hanyalah upaya pengkerdilan terhadap nilai-nilai kebesaran agama, khususnya agama Islam. Bahkan dapat dikatakan, pluralisme tidak lebih upaya para ahlul bathil untuk menggiring ummat Islam menuju kehidupan liar, yang terlepas dari aturan suci yang dikehendaki Alloh.  Sebagai bahan referensi tidak ada salahnya kita simak ungkapan Samuel Zweimer, seorang Yahudi tulen yang juga menjabat pimpinan misi Kristen dalam Konferensi Misionaris di kota Quds tahun 1935. Dia menyatakan,”Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslimin sebagai orang Kristen (baca: mengkristenkan), namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi orang yang tidak berakhlak sebagaimana seorang Muslim. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsu.”
Sebagai sebuah paham yang dapat menyeret seorang Muslim dalam kemurtadan, maka pluralisme menjadi sangat berbahaya. Lebih berbahaya lagi karena mereka yang mengusungnya adalah orang-orang yang dalam kesehariannya dipandang sebagai seorang Muslim, bahkan tokoh Muslim.
Kini, laju pluralisme di Indonesia mendapatkan tumpangan  kendaraan berplat merah melalui diusungnya ide Islam Nusantara. Sebagai proyek besar berstempel pemerintah, semoga para penganut Jemaat Islam Nusantara (JIN) tidak terjangkiti phobia kekuasaan dengan menghukumi pihak yang  tidak menganut paham JIN sebagai sesat, anti demokrasi, radikal, bahkan…teroris. (dikutip dari Majalah Al Madinah dengan berbagai editing)
luralisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar