Minggu, 27 Mei 2018


WAHAI IBU,
DIMANAKAH ENGKAU KINI?


Di dalam Islam derajat kaum ibu diukur sejauh mana ketakwaannya kepada AllohI. Sejauh mana dia taat kepada perintah AllohI dan menjunjung sunnah-sunnah Rasulullahr dalam kehidupannya. Sebelum datangnya Islam kaum wanita ditempatkan sebagai makluk kedua setelah laki-laki. Wanita dianggap hanyalah pelengkap kehidupan.

Persamaan yang Tidak Sama
Dalam budaya Yunani wanita dikucilkan dari ambil bagian dalam muamalah ataupun muasyarah. Sementara di sebagian Eropa, bahkan sampai sekarang,  wanita tidak mempunyai hak milik pribadi. Sehingga dalam budaya perkawinan di negara Barat umumnya nama keluarga bagi wanita (istri) dihilangkan dan digantikan dengan nama sang suami. Dalam budaya Barat wanita sering menjadi bahan eksploitasi kepuasan syahwat laki-laki semata.

Sementara di kalangan bangsa Arab jahiliyah mereka merasa mendapat aib besar bila harus mempunyai anak perempuan. Garis keturunan dari kaum wanita dianggap lebih hina. Bahkan mereka tega mengubur anak wanita hidup-hidup.
Setelah datangnya Islam pandangan yang merendahkan wanita diubah. Al-Qur’an mencurahkan perhatian yang besar terhadap wanita. Setidak-tidaknya terdapat sepuluh surat yang di dalamnya menjelaskan kedudukan wanita seperti Al-Baqarah, Al-Maidah, An-Nur, Al-Ahzab, Al-Mujadalah, dan At-Tahriim. Bahkan salah satu surat di dalam Al-Quran dinamakan “Surat Wanita” (An-Nisaa) dan satu surat secara khusus membahas tentang seluk-beluk perceraian dan hak-hak kaum wanita dalam keluarganya (Surat At-Talaq).
Dalam beberapa hal memang ada persamaan antara kaum wanita dan kaum laki-laki yang diatur sangat jelas di dalam Islam. Persamaan itu di antaranya dalam hal kewajiban taat kepada Alloh dan Rasul-Nya, seperti yang difirmankan Alloh:


وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً {37}

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita yang mukminah, apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan kepada mereka, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)

Begitu juga dalam hal beramal shalih dan balasan terhadap amal-amal yang dilakukan, kaum wanita dan laki-laki sama kedudukannya di sisi AllohI. AllohI berfirman:


مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ {97}

“Barangsiapa beramal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl: 97)

Terdapat persamaan juga antara wanita dan laki-laki dalam hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam hal ini, Ibnu Hazm menjelaskan, “Setiap muslim yang sudah baligh dan berakal, laki-laki dan wanita, merdeka dan hamba, dikenai kewajiban. Tidak seorang pun dari kaum muslimin yang menyanggahnya, bahwa dia harus mengetahui mana yang halal dan mana yang haram bagi dirinya, siapapun dia. Mereka semua diwajibkan andil dalam proses menuntut ilmu.”
Demikian juga dalam hak kepemilikan harta, menikah, bercerai, bergaul sesama ummat manusia, bahkan dalam hal tanggung jawab dakwah, agama telah mengaturnya dengan aturan yang sempurna untuk kaum wanita. Aturan-aturan yang bila dijalani dengan betul akan membawa para wanita ke derajat yang tinggi di sisi AllohI tanpa harus mengoyak sisi kehormatannya.
Namun karena fitrah penciptaan wanita dan laki-laki itu berbeda, maka ada perbedaan pula fungsi dan peran masing-masing dalam tatanan kehidupan, di dalam keluarga apalagi di dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Hakikat dari perbedaan ini sebenarnya untuk membagi tanggung jawab dalam kehidupan di rumah tangga dan juga di masyarakat sesuai dengan kodrat masing-masing.
Sesuai dengan fitrahnya, ladang perjuangan kaum wanita adalah di balik dinding rumahnya. Kaum ibulah yang berperan untuk menghidupkan suasana agama di dalam keluarganya. Menjadikan rumahnya sebagai madrasah bagi anak-anak dan anggota keluarganya. Sebuah madrasah yang mengajarkan Al-Qur-an mulai dari lafadz sampai wujud dalam amal perbuatan sehari-hari. Kaum ibu juga yang berperan menciptakan suasana amal ibadah dan dzikir di tengah-tengah keluarganya. Sehingga siapapun yang masuk ke rumah-rumah mereka, menjadi ingat kepada AllohI dan hari akhir. Dan yang paling penting, para wanita shalihah selalu berperan dalam mendorong suami dan anak-anak mereka untuk menjadi da’i-da’I yang selalu siap berjuang di Jalan AllohI.
Namun sayang, “kaidah persamaan” ini berkembang menjadi “kebablasan” , terutama setelah bercampurnya paham-paham semisal egalitarian (paham serba sama) dalam alur berpikir ummat Islam. Dikemas dalam ungkapan indah bernama “Hak Azasi Manusia” dan “Emansipasi”, kaidah persamaan antara kaum wanita dan laki-laki ini berkembang liar sehingga menyeret kaum wanita jauh keluar dari sisi kemuliaan dan kehormatannya. Kaum wanita “dipaksa” melakukan berbagai urusan yang jauh diluar fitrah kewanitaannya. Dan meninggalkan peran hakikinya dalam keluarga.
Padahal tanpa disadari, berkembangnya gaya hidup yang menyebabkan tercampaknya “hukum hijab” bagi wanita ini, melahirkan defeminisasi bagi wanita, yaitu hilangnya secara perlahan-lahan sifat-sifat fitrah kewanitaan kaum ibu seperti kelemahlembutan, perasaan kasih sayang, pemalu, dan sifat ketaatan. Padahal kondisi ini akan membuat anak-anak mereka perlahan-lahan kehilangan sosok atau figur keteladanan dari seorang ibu. Seseorang yang dengan kasih sayangnya membelainya, membimbing, dan memberi contoh kehidupan yang baik. Jika anak berkembang dalam suasana demikian, maka akan hilang sifat ketaatan anak kepada orang tuanya. Lebih dari itu, anak akan kehilangan figur yang dapat diteladani dalam taat kepada AllohI dan Rasul-Nya. Padahal hilangnya sifat ketaatan dan tidak adanya figur keteladanan dalam keluarga hanya akan melahirkan generasi yang semakin jauh dari agama.
Gaya hidup yang menghalalalkan para wanita melakukan apa saja yang dimaui ini, juga memunculkan sindrom kejiwaan bernama motherhood rejection, yaitu kelainan kejiwaan pada wanita dimana munculnya rasa kebencian menjadi seorang ibu dan memandang rendah peran kewanitaan dalam rumah tangga.
Di kalangan mereka seorang wanita dianggap lebih terhormat apabila menjadi wanita karier yang hebat. Baik karier dalam bidang politik, intertainment,  bisnis, dan lain-lain. Walau untuk mendukung tuntutan kariernya ini dia harus sebanyak mungkin meluangkan waktunya di luar rumah. Sehingga urusan rumah tangganya seperti mendidik anak, memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, melayani suami dan lain-lain dia serahkan kepada sederet pembantu rumah tangga yang tak lain adalah kaum wanita juga. Dia merasa ternoda kehormatannya kalau masih harus mencuci baju suami atau menyuapi anak-anaknya. Dan inilah ironisnya, dia menghindar dari keadaan yang dianggap merendahkannya, tapi tanpa dia sadari diapun telah menempatkan wanita lain (para pembantu) ke dalam keadaan yang dia anggap rendahan itu.
Atas nama “tuntutan profesi” para wanita tidak boleh menolak untuk berpakaian yang mendedahkan (membuka) auratnya dan meninggalkan perannya sebagai ibu di tengah anak-anaknya. Juga atas nama “tuntutan keadaan” seorang wanita dianggap baik-baik saja jika harus melakukan perbuatan-perbuatan yang terang-terangan melanggar hukum AllohI. Tecampaknya “hukum hijab” dalam kehidupan wanita nyata-nyata telah menempatkan kaum wanita pada keadaan yang terendahkan.
Namun anehnya, justru ada sebagian kaum wanita yang dengan gigih memperjuangkan kaidah hidup yang nyeleneh ini bagi dirinya dan kaumnya. Sungguh zaman ini haus akan lahirnya kembali sosok-sosok ibu yang bangga terhadap jatidiri dan fitrah yang telah ditetapkan AllohI pada dirinya. Sosok ibu yang tidak terkesan dengan pemikiran-pemikiran dan jalan hidup bathil yang menjerumuskan. Jalan hidup yang akan mencampakkan para ibu ke dalam lumpur kenistaan.

Wahai ibu,
dimanakah engkau kini,
kami merindukanmu………
(dikutip dari rubrik sajian utama majalah al madinah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar