WAHAI IBU,
DIMANAKAH ENGKAU KINI?
Di dalam Islam derajat kaum ibu diukur sejauh
mana ketakwaannya kepada AllohI. Sejauh mana dia taat kepada perintah AllohI dan menjunjung
sunnah-sunnah Rasulullahr dalam kehidupannya. Sebelum datangnya Islam kaum wanita ditempatkan sebagai makluk kedua
setelah laki-laki. Wanita dianggap hanyalah pelengkap kehidupan.
Persamaan yang Tidak Sama
Dalam budaya Yunani wanita dikucilkan dari ambil
bagian dalam muamalah ataupun muasyarah. Sementara di sebagian Eropa, bahkan
sampai sekarang, wanita tidak mempunyai
hak milik pribadi. Sehingga dalam budaya perkawinan di negara Barat umumnya nama keluarga bagi wanita (istri) dihilangkan dan digantikan
dengan nama sang suami. Dalam budaya Barat wanita sering menjadi bahan
eksploitasi kepuasan syahwat laki-laki semata.
Sementara di kalangan bangsa
Arab jahiliyah mereka merasa mendapat aib besar bila harus mempunyai anak
perempuan. Garis keturunan dari kaum wanita dianggap lebih hina. Bahkan mereka
tega mengubur anak wanita hidup-hidup.
Setelah datangnya Islam pandangan yang merendahkan wanita diubah. Al-Qur’an mencurahkan
perhatian yang besar terhadap wanita. Setidak-tidaknya terdapat sepuluh surat
yang di dalamnya menjelaskan kedudukan wanita seperti Al-Baqarah, Al-Maidah, An-Nur, Al-Ahzab, Al-Mujadalah, dan At-Tahriim.
Bahkan salah satu surat di dalam Al-Quran dinamakan “Surat Wanita” (An-Nisaa) dan satu surat secara khusus
membahas tentang seluk-beluk perceraian dan hak-hak kaum wanita dalam
keluarganya (Surat
At-Talaq).
Dalam beberapa hal memang ada persamaan antara
kaum wanita dan kaum laki-laki yang diatur sangat jelas di dalam Islam. Persamaan itu di antaranya dalam hal kewajiban taat kepada Alloh
dan Rasul-Nya, seperti yang difirmankan Alloh:
وَإِذْ تَقُولُ
لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ
وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ
أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً
زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ
أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً
وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً {37}
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi
wanita yang mukminah, apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan kepada mereka, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah
sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab:
36)
Begitu juga dalam hal beramal shalih dan balasan
terhadap amal-amal yang dilakukan, kaum wanita dan laki-laki sama kedudukannya
di sisi AllohI. AllohI berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ {97}
“Barangsiapa beramal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl: 97)
Terdapat persamaan juga antara wanita dan
laki-laki dalam hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam hal ini, Ibnu
Hazm menjelaskan, “Setiap muslim yang sudah baligh dan berakal, laki-laki dan
wanita, merdeka dan hamba, dikenai kewajiban. Tidak seorang pun dari kaum
muslimin yang menyanggahnya, bahwa dia harus mengetahui mana yang halal dan
mana yang haram bagi dirinya, siapapun dia. Mereka semua diwajibkan andil dalam
proses menuntut ilmu.”
Demikian juga dalam hak kepemilikan harta,
menikah, bercerai, bergaul sesama ummat manusia, bahkan dalam hal tanggung
jawab dakwah, agama telah mengaturnya dengan aturan yang sempurna untuk kaum
wanita. Aturan-aturan yang bila dijalani dengan betul akan membawa para wanita
ke derajat yang tinggi di sisi AllohI tanpa harus
mengoyak sisi kehormatannya.
Namun karena fitrah penciptaan wanita dan
laki-laki itu berbeda, maka ada perbedaan pula fungsi dan peran masing-masing
dalam tatanan kehidupan, di dalam keluarga apalagi di dalam pergaulan
sosial kemasyarakatan. Hakikat dari perbedaan ini sebenarnya untuk membagi
tanggung jawab dalam kehidupan di rumah tangga dan juga di masyarakat sesuai
dengan kodrat masing-masing.
Sesuai dengan fitrahnya, ladang perjuangan kaum
wanita adalah di balik dinding rumahnya. Kaum ibulah yang berperan untuk
menghidupkan suasana agama di dalam keluarganya. Menjadikan rumahnya sebagai madrasah bagi anak-anak dan anggota
keluarganya. Sebuah madrasah yang mengajarkan Al-Qur-an mulai dari lafadz
sampai wujud dalam amal perbuatan sehari-hari. Kaum ibu
juga yang berperan menciptakan suasana amal ibadah dan dzikir di tengah-tengah
keluarganya. Sehingga siapapun yang masuk ke rumah-rumah
mereka, menjadi ingat kepada AllohI dan hari akhir. Dan yang paling penting, para
wanita shalihah selalu berperan dalam mendorong suami dan anak-anak mereka
untuk menjadi da’i-da’I yang selalu siap berjuang di Jalan AllohI.
Namun sayang, “kaidah persamaan” ini berkembang
menjadi “kebablasan” , terutama setelah bercampurnya paham-paham semisal egalitarian (paham serba sama) dalam
alur berpikir ummat Islam. Dikemas dalam ungkapan indah bernama “Hak Azasi Manusia” dan “Emansipasi”, kaidah persamaan antara kaum
wanita dan laki-laki ini berkembang liar sehingga menyeret kaum wanita jauh
keluar dari sisi kemuliaan dan kehormatannya. Kaum wanita “dipaksa” melakukan
berbagai urusan yang jauh diluar fitrah kewanitaannya. Dan meninggalkan peran
hakikinya dalam keluarga.
Padahal tanpa disadari, berkembangnya gaya hidup
yang menyebabkan tercampaknya “hukum hijab” bagi wanita ini, melahirkan defeminisasi bagi wanita, yaitu
hilangnya secara perlahan-lahan sifat-sifat fitrah kewanitaan kaum ibu seperti
kelemahlembutan, perasaan kasih sayang, pemalu, dan sifat ketaatan. Padahal
kondisi ini akan membuat anak-anak mereka perlahan-lahan kehilangan sosok atau
figur keteladanan dari seorang ibu. Seseorang yang dengan kasih sayangnya
membelainya, membimbing, dan memberi contoh kehidupan yang baik. Jika anak
berkembang dalam suasana demikian, maka akan hilang sifat ketaatan anak kepada
orang tuanya. Lebih dari itu, anak akan kehilangan figur yang dapat diteladani
dalam taat kepada AllohI dan Rasul-Nya. Padahal hilangnya sifat ketaatan dan tidak adanya figur
keteladanan dalam keluarga hanya akan melahirkan generasi yang semakin jauh
dari agama.
Gaya hidup yang menghalalalkan para wanita
melakukan apa saja yang dimaui ini, juga memunculkan sindrom kejiwaan bernama motherhood rejection, yaitu kelainan
kejiwaan pada wanita dimana munculnya rasa kebencian menjadi seorang ibu
dan memandang rendah peran kewanitaan dalam rumah tangga.
Di kalangan mereka
seorang wanita dianggap lebih terhormat apabila menjadi wanita karier yang
hebat. Baik karier dalam bidang politik, intertainment, bisnis, dan lain-lain. Walau untuk mendukung
tuntutan kariernya ini dia harus sebanyak mungkin meluangkan waktunya di luar
rumah. Sehingga urusan rumah tangganya seperti mendidik anak, memasak, mencuci
pakaian, membersihkan rumah, melayani suami dan lain-lain dia serahkan kepada
sederet pembantu rumah tangga yang tak lain adalah kaum wanita juga. Dia merasa
ternoda kehormatannya kalau masih harus mencuci baju suami atau menyuapi
anak-anaknya. Dan inilah ironisnya, dia menghindar dari keadaan yang dianggap
merendahkannya, tapi tanpa dia sadari diapun telah menempatkan wanita lain
(para pembantu) ke dalam keadaan yang dia anggap rendahan itu.
Atas nama “tuntutan profesi” para wanita tidak
boleh menolak untuk berpakaian yang mendedahkan (membuka) auratnya dan
meninggalkan perannya sebagai ibu di tengah anak-anaknya. Juga atas nama
“tuntutan keadaan” seorang wanita dianggap baik-baik saja jika harus melakukan perbuatan-perbuatan yang terang-terangan melanggar
hukum AllohI. Tecampaknya “hukum hijab” dalam kehidupan wanita
nyata-nyata telah menempatkan kaum wanita pada keadaan yang terendahkan.
Namun anehnya, justru ada sebagian kaum wanita
yang dengan gigih memperjuangkan kaidah hidup yang nyeleneh ini bagi dirinya dan kaumnya. Sungguh zaman ini haus akan lahirnya kembali sosok-sosok ibu yang bangga
terhadap jatidiri dan fitrah yang telah ditetapkan AllohI pada dirinya.
Sosok ibu yang tidak terkesan dengan pemikiran-pemikiran dan jalan hidup bathil
yang menjerumuskan. Jalan hidup yang akan mencampakkan para ibu ke dalam lumpur
kenistaan.
Wahai ibu,
dimanakah engkau kini,
kami merindukanmu………
(dikutip dari rubrik sajian utama majalah al madinah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar