Selasa, 19 September 2017

Kurikulum Plural



TERJEBAK DI KURIKULUM
MODERAT DAN PLURAL
       
”Most Islamic studies teachers in public and private schools in java oppose pluralism, tending toward radicalism and conservatism” (sebagian besar guru-guru agama Islam di sekolah negeri dan swasta di Jawa menentang pluralisme, cendrung ke arah radikalisme dan konservatisme). Inilah judul sebuah laporan di koran the Jakarta post.
         Laporan koran bahasa Inggris tersebut adalah reportase mereka terhadap hasil survei PPIM-UIN (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM-UIN0 Syarif Hidayatullah Jakarta). Survei PPIM-UIN Jakarta itu juga menunjukkan bahwa sebanyak 62,4 persen guru agama (termasuk dari kalangan NU dan Muhammdiyah), menolak untuk mengangkat pemimpin non-Muslim. Survei juga menunjukkan, 68.6 persen guru agama menentang diangkatnya orang non-Muslim sebagai kepala sekolah mereka; dan sebanyak 33,8 persen menolak kehadiran guru non-Muslim di lingkunga mereka juga cukup besar, yakni 73,1 persen. Sementara itu, ada 85,6 persen guru agama yang melarang murid mereka untuk ikut merayakan apa yang dipersepsikan sebagai “Tradisi Barat”. Begitu juga ada 87 persen yang mengajurkan muridnya untuk tidak mempelajari agama-agama lain; dan 48 persennya lebih menyukai pemisahan murid laki-laki dan wanita dalam kelas yang berbeda.

         Anda mujngkin tidak begitu kaget dengan hasil survei di atas, tapi coba renungkan komentar dan analisis Direktur PPIM-UIN Jakarta, pihak yang punya hajat terhadap survei tersebut. Menurut Dr. jajat Burhanudin, hasil survei ini menunjukkan bahwa NU dan Muhammadiyah telah gagal menanamkan nilai-nilai moderat ke kalangan akar rumput. Menurutnya, moderatisme dan pluralisme hanya dipeluk oleh kalangan elite mereka. Ia juga mengaku takut bahwa fenomena semacam ini telah memberikan konstribusi dalam meningkatkan radikalisme dan bahkan terorisme di negeri kita.
         Merenungi kesimpulan Direktur PPIM-UIN Jakarta membawa misi besar untuk merombak pola pikir pada guru agama di masa depan. Mereka diharapkan agar menjadi pluralis, tidak konservatif, tidak radikal. Mereka nantinya harus mau menerima pemimpin non-Muslim, menerima guru non-Muslim, menolak penerapan syariah, mendukung hak murtad, mendukung perayaan-perayaan model Barat, dan sebagainya. Itulah yang disebut oleh Direktur PPIM-UIN Jakarta itu sebagai jenis Islam Moderen, Islam pluralis, Islam Nusantara, atau entah jenis Islam apa lagi. Yang penting jenis Islam yang baru nanti harus mendapat ridho dari negara-negara Barat yang menjadi donatur penting dari lembaga-lembaga sejenis tersebut.
         Sebangun dengan visi penelitian PPIN-UIN Jakarta, Harian Republika (3/12/2005) pernah mengutip isi memo Menhas As Donald Rusmfeld terbitan 16 Oktober 2003 tentang visi ke depan Negara Paman Sam ini untuk dunia pendidikan di Indonesia kiranya patut kita cermati: “AS perlu menciptakan tenaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan As untuk menagkap atau membunuh mereka.”
         Jangan kaget yaa…! Membaca sampul belakang jurnal RELIEF (jour of Religious Issues) terbitan pusat studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gajah Nada Yogyakarta edisi No. 2, Mei 2003 yang berisi kutipan wawancara dengan prof. Dr. Machasin, guru besar UIN Yogya, yang menyatakan:”… kenapa kita ribut menyalahkan orang ateis, bahwa ateis adalah musuh orang ber-Tuhan. Padahal Tuhan sendiri atheis. Ia tidak ber-Tuhan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar