TERJEBAK DI KURIKULUM
MODERAT DAN PLURAL
Laporan koran bahasa Inggris tersebut adalah reportase mereka terhadap hasil
survei PPIM-UIN (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri
(PPIM-UIN0 Syarif Hidayatullah Jakarta). Survei PPIM-UIN Jakarta itu juga
menunjukkan bahwa sebanyak 62,4 persen guru agama (termasuk dari kalangan NU
dan Muhammdiyah), menolak untuk mengangkat pemimpin non-Muslim. Survei juga
menunjukkan, 68.6 persen guru agama menentang diangkatnya orang non-Muslim
sebagai kepala sekolah mereka; dan sebanyak 33,8 persen menolak kehadiran guru
non-Muslim di lingkunga mereka juga cukup besar, yakni 73,1 persen. Sementara
itu, ada 85,6 persen guru agama yang melarang murid mereka untuk ikut merayakan
apa yang dipersepsikan sebagai “Tradisi Barat”. Begitu juga ada 87 persen yang
mengajurkan muridnya untuk tidak mempelajari agama-agama lain; dan 48 persennya
lebih menyukai pemisahan murid laki-laki dan wanita dalam kelas yang berbeda.
Anda mujngkin tidak begitu kaget dengan hasil survei di atas, tapi coba renungkan
komentar dan analisis Direktur PPIM-UIN Jakarta, pihak yang punya hajat
terhadap survei tersebut. Menurut Dr. jajat Burhanudin, hasil survei ini
menunjukkan bahwa NU dan Muhammadiyah telah gagal menanamkan nilai-nilai
moderat ke kalangan akar rumput. Menurutnya, moderatisme dan pluralisme hanya
dipeluk oleh kalangan elite mereka. Ia juga mengaku takut bahwa fenomena
semacam ini telah memberikan konstribusi dalam meningkatkan radikalisme dan
bahkan terorisme di negeri kita.
Merenungi kesimpulan Direktur PPIM-UIN Jakarta membawa misi besar untuk
merombak pola pikir pada guru agama di masa depan. Mereka diharapkan agar
menjadi pluralis, tidak konservatif, tidak radikal. Mereka nantinya harus mau
menerima pemimpin non-Muslim, menerima guru non-Muslim, menolak penerapan
syariah, mendukung hak murtad, mendukung perayaan-perayaan model Barat, dan
sebagainya. Itulah yang disebut oleh Direktur PPIM-UIN Jakarta itu sebagai
jenis Islam Moderen, Islam pluralis, Islam Nusantara, atau
entah jenis Islam apa lagi. Yang penting jenis Islam yang baru nanti harus
mendapat ridho dari negara-negara Barat yang menjadi donatur penting dari
lembaga-lembaga sejenis tersebut.
Sebangun dengan visi penelitian PPIN-UIN Jakarta, Harian Republika (3/12/2005)
pernah mengutip isi memo Menhas As Donald Rusmfeld terbitan 16 Oktober 2003
tentang visi ke depan Negara Paman Sam ini untuk dunia pendidikan di Indonesia
kiranya patut kita cermati: “AS perlu menciptakan tenaga donor untuk
mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga
pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat
dibandingkan kemampuan As untuk menagkap atau membunuh mereka.”
Jangan kaget yaa…! Membaca sampul belakang jurnal RELIEF (jour of Religious
Issues) terbitan pusat studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gajah
Nada Yogyakarta edisi No. 2, Mei 2003 yang berisi kutipan wawancara dengan
prof. Dr. Machasin, guru besar UIN Yogya, yang menyatakan:”… kenapa kita ribut
menyalahkan orang ateis, bahwa ateis adalah musuh orang ber-Tuhan. Padahal
Tuhan sendiri atheis. Ia tidak ber-Tuhan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar